
Pengalaman Awal Menulis di Aiotrade.app
Sebagai seorang Kompasianer, saya termasuk penganut aliran "bodo amat" terhadap label yang diberikan. Mulai dari "Pilihan", "Headline" (kini disebut Artikel Utama), "Featured" (dulu ada), hingga "Infinite", semuanya sepenuhnya menjadi ranah admin. Saya tidak pernah memikirkan label-label ini secara serius.
Awal mula sikap "bodo amat" ini bermula saat tulisan pertama saya tayang di aiotrade.app. Sebagai orang daerah yang awalnya hanya iseng mencoba menulis di platform tersebut, saya hanya berharap tulisan itu bisa tayang tanpa kendala. Saat itu, saya menulis menggunakan ponsel Samsung bekas dengan spesifikasi minimalis dan baterai dalam kondisi "hamil" (tapi belum beranak). Akibatnya, saya bahkan tak berani meng-upload gambar di artikel. Jika tulisan gagal upload atau ditolak oleh sistem, itu dianggap sebagai kematian.
Jadi, ketika tulisan itu akhirnya tayang dengan selamat, rasanya seperti lolos dari nilai merah dosen paling "killer" di kampus. Pada prosesnya, tulisan bertanggal 1 Desember 2016 itu kemudian mendapat label "Pilihan" dan "Headline" (sekarang Artikel Utama), lengkap dengan bonus gambar ilustrasi dan caption dari admin.
Seiring waktu, meskipun sudah menulis lebih dari 2000 artikel (termasuk beberapa artikel berlabel "Pilihan") dan ratusan artikel utama, ingatan tentang tulisan pertama itu tetap melekat seperti rekaman memori cinta pertama. Ciye.
Awalnya, ingatan itu lebih banyak terpusat pada sensasi horor setelah artikel tayang. Saya masih ingat betapa seramnya perasaan deg-degan itu, karena saya menulisnya begitu saja, tanpa pernah ikut kelas menulis artikel sama sekali, apalagi memiliki dasar ilmu yang cukup.
Belum lagi, menulisnya dilakukan di ponsel, bukan di laptop seperti penulis biasa. Tanpa perlu uji nyali di tempat horor, sensasi horornya semakin komplit akibat efeh ledakan trio gegana, alias gelisah galau merana.
Situasinya benar-benar seperti lirik "Lagu Galau"-nya Al Ghazali:
Mau bilang cinta tapi takut salah
Bilang tidak ya?
Bilang tidak ya?
Namun, pengalaman serba pertama ini ternyata cukup membantu. Tidak ada sensasi pahit seperti yang sering dikupas habis oleh Kong Felix, Uda Merza, Omjay, atau Kompasianer senior lain yang tajam seperti silet.
Sebagai Kompasianer yang pernah disebut "baru" oleh seorang Kompasianer senior, saya hanya perlu duduk manis di pojokan. Jika bisa dikejar, mungkin mereka akan sekalian menjitak label AU seperti Shinchan. Padahal, label ini tidak pernah main film "Kejarlah Daku Kau Kujitak".
Malah, label yang bukan pasukan TNI ini sudah terbiasa memakai jurus "datang tak diundang, pergi tak diantar" andalan Jae Lang Kyung, si bintang film Korea. Utara atau Selatan? Ya ndak tau, kok tanya saya.
Sebagai orang yang terbiasa minum kopi pahit tanpa gula, saya tidak pernah menelan rasa pahit soal perlabelan ini. Kalaupun ada, itu bukan rasa pahit tapi rasa coklat kacang yang cenderung creamy, seperti kopi robusta Lampung.
Maklum, ia datang dari sensasi lucu, karena ada sejumlah artikel yang baru mendapat label, 2-3 hari setelah tayang. Jadi bukan sekali senggol langsung beres, seperti operasi senyap.
Mungkin, ada cek VAR di sini sampai ke adegan "slow motion" paling santuy seperti kapibara. Atau, jangan-jangan ada sidang isbat di sini, karena admin harus cek posisi Al Hilal di Arab Saudi, karena baru saja membeli Darwin Nunez dari Liverpool.
Kembali ke label AU, yang suka mengudara tanpa pesawat, sebenarnya ia bukan sesuatu untuk dikejar. Karena sifatnya yang setengah misterius, sangat susah untuk menebaknya. Seperti kata lagu jadul, label yang hobi memakai jurus terbang ala Superman ini biasa datang dan pergi sesuka hati, kadang dibenci tapi juga dirindukan.
Jadi, daripada mengejar label yang biasa menyamar jadi godot, hanya untuk dijitak, sudah seharusnya kita meminjam mantra klasik para pendaki, "takkan lari gunung dikejar". Mumpung masih gratis, belum kena pajak, apalagi bunga pinjol yang sedang kasmaran, alias berbunga-bunga.
Khusus untuk Kong Felix, kalau bisa konser, mungkin bolehlah bisik-bisik pinjam lagu "Benci Tapi Rindu"-nya Diana Nasution pakai jalur "Batak Connection", biar nggak kalah setel sama "Dutch Connection". Gitu.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!