
Kebijakan Impor Mobil Listrik di Indonesia: Batas Waktu dan Dampaknya
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menegaskan bahwa kebijakan impor mobil listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) dalam bentuk Completely Built Up (CBU) hanya berlaku hingga akhir tahun ini. Artinya, mulai tahun 2026, para pabrikan harus memproduksi BEV di dalam negeri.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono menyatakan bahwa belum ada pembahasan mengenai kelanjutan insentif impor untuk BEV. Ia menilai, karena belum ada diskusi atau rapat terkait, maka insentif tersebut akan berakhir sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Insentif Impor BEV dan Persyaratan
Insentif impor BEV diberikan melalui Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023, juncto Nomor 1 Tahun 2024. Sejak Februari 2024, sejumlah merek BEV menerima insentif bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Misalnya, setiap impor CBU harus disertai bank garansi, serta adanya komitmen investasi untuk memproduksi di dalam negeri dengan rasio 1:1.
Artinya, setiap satu unit BEV yang diimpor, pabrikan harus memproduksi satu unit di dalam negeri dengan tipe dan jenis yang sama. Batas waktu program insentif impor ini akan berakhir pada 31 Desember 2025. Setelah itu, dari 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, para pabrikan penerima insentif mesti melunasi komitmen produksi 1:1 sesuai dengan roadmap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Besaran TKDN ditargetkan naik bertahap dari 40% pada 2026 menjadi 60% pada 2027, lalu meningkat ke level 80% pada 2030.
Komitmen Investasi dan Jumlah Pabrikan
Mahardi menjelaskan, batas waktu permohonan usulan insentif impor BEV sudah berakhir pada 31 Maret 2025. Berdasarkan data dari Kemenperin, terdapat enam perusahaan yang mengikuti program insentif CBU dengan total rencana penambahan investasi sekitar Rp 15 triliun serta rencana penambahan kapasitas produksi sebesar 305.000 unit.
Dari keenam perusahaan tersebut, dua melakukan kerja sama perakitan dengan assembler lokal, dua melakukan perluasan kapasitas produksi, dan dua lainnya membangun pabrik baru. Contohnya, PT National Assemblers menaungi merek Citroen, AION, Maxus, VW. Sementara PT Era Industri Otomotif menaungi merek Xpeng.
Saat ini, Indonesia memiliki 82 perusahaan yang bergerak di industri perakitan kendaraan listrik. Terdiri dari tujuh pabrikan bus listrik dengan kapasitas produksi 3.100 unit per tahun, sembilan pabrikan mobil listrik dengan kapasitas produksi 70.060 unit per tahun, dan 66 perusahaan motor listrik (roda dua dan tiga) dengan kapasitas produksi hingga 2,37 juta unit per tahun.
Lonjakan Populasi Kendaraan Listrik
Populasi kendaraan listrik di Indonesia meningkat signifikan dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2019, jumlahnya mencapai 1.437 unit. Pada tahun 2023, angka tersebut melejit ke 116.439 unit. Hingga Juni 2025, populasi kendaraan listrik sudah mencapai 274.802 unit.
Menurut Mahardi, lonjakan ini tidak lepas dari berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah. "Peningkatan ini terjadi seiring dengan pemberlakuan insentif atau kebijakan terkait percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik," ujarnya.
Catatan Terhadap Impor BEV
Namun, lonjakan populasi kendaraan listrik tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan pengamat otomotif memberikan catatan terhadap kebijakan tersebut.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyoroti persaingan antara BEV impor dengan mobil yang diproduksi di dalam negeri, termasuk mobil konvensional dengan TKDN yang sudah mencapai 80%-90%. Menurutnya, sebagian jenis BEV impor dan mobil dengan TKDN tinggi bersaing pada segmen pasar dengan rentang harga yang relatif sama, di bawah Rp 400 juta.
Kukuh mengingatkan, kondisi ini bisa membawa dampak turunan terhadap ekosistem industri otomotif di dalam negeri, khususnya bagi industri komponen otomotif. Ia menegaskan bahwa adopsi teknologi kendaraan listrik mesti beriringan dengan penguatan industri di dalam negeri.
Kritik terhadap Insentif Impor BEV
Peneliti LPEM FEB-UI, Riyanto, mengingatkan bahwa impor BEV dalam bentuk CBU tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi industri di dalam negeri. "Dampak ekonomi hanya terjadi melalui sektor perdagangan saja. Multiplier effect-nya jauh lebih kecil dibandingkan dengan BEV produksi lokal," katanya.
Riyanto juga menyoroti bahwa insentif impor BEV terkesan memberikan perlakuan yang tidak adil terhadap pabrikan mobil EV yang telah terlebih dulu berinvestasi dan membangun pabrik di dalam negeri. Ia menyarankan agar pemerintah tidak memperpanjang insentif BEV impor, atau hanya sampai akhir tahun 2025 sesuai dengan aturan saat ini.
Tren Hybrid sebagai Jembatan Transisi
Kukuh menambahkan, adopsi kendaraan dengan bahan bakar ramah lingkungan untuk menekan tingkat emisi perlu dilakukan secara bertahap. Pemerintah dan pelaku industri pun mesti bersiap dengan perkembangan tren dan teknologi yang bergerak dinamis.
Menurut Kukuh, mobil jenis hybrid bisa menjadi jembatan dalam transisi tersebut. Apalagi, penggunaan mobil hybrid juga menjadi tren di sejumlah negara, termasuk di China yang melakukan refocus untuk mengembangkan mobil hybrid. "Nah, kalau kita bisa in line, akan menarik. Karena (hybrid) industrinya kurang lebih juga mengandalkan (industri) konvensional yang sudah ada," imbuhnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!