Kritik Kampus: Rektorat di Laboratorium

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Kritik Kampus: Rektorat di Laboratorium

Demonstrasi Mahasiswa Unimor: Kritik terhadap Perubahan Fungsi Gedung Laboratorium

Pada 18 September 2025, ribuan mahasiswa Universitas Timor (Unimor) turun ke jalan dalam aksi demonstrasi yang mengecam alih fungsi Gedung Laboratorium Terpadu menjadi kantor rektorat. Aksi ini mencapai puncaknya ketika sekelompok mahasiswa mencopot huruf “REKTORAT UNIVERSITAS TIMOR” dari gedung tersebut. Adegan itu direkam dalam video berdurasi 37 detik dan viral di media sosial, memicu perdebatan publik.

Beberapa orang menganggap tindakan ini sebagai anarkis karena dianggap merusak fasilitas dan merusak wajah kampus. Namun, ada juga yang memandangnya sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan kampus yang tidak memperhatikan kebutuhan dasar mahasiswa. Jika diteliti lebih dalam, masalah ini bukan sekadar tentang papan nama, melainkan pergeseran orientasi kampus dari pusat pengetahuan menjadi pusat kekuasaan.

Universitas, yang semestinya menjadi rumah bagi kebebasan berpikir, kini menjelma menjadi kantor birokrasi yang penuh dengan gengsi dan formalitas. Gedung Laboratorium Terpadu Unimor awalnya dibangun dengan semangat luhur untuk mendukung praktikum, riset, dan kegiatan akademik lintas prodi. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Prof Brian Juliarto, pada 16 April 2025, bangunan ini diharapkan menjadi jantung akademik.

Namun, saat asesmen lapangan akreditasi institusi (APT), gedung ini dipilih untuk menyambut asesor karena tampilannya yang representatif, bersih, mewah, dan berwibawa. Ironisnya, momentum ini justru menjadi titik balik penyimpangan fungsi gedung. Dari pusat akademik, gedung ini berubah menjadi singgasana kekuasaan administratif yang ditempati Rektor, Wakil Rektor, Kepala Biro hingga bagian Keuangan.

Lebih ironis lagi, pada saat yang sama, mahasiswa dipaksa berkuliah di SMKN 1 Kefamenanu dalam kondisi kurang ideal, terutama pada malam hari. Mahasiswa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mobilisasi dan kehilangan atmosfer akademik yang seharusnya mereka rasakan di kampus.

Akreditasi: Cermin Institusi atau Panggung Kamuflase?

Pimpinan Unimor berdalih bahwa alih fungsi laboratorium itu hanya sementara demi menyukseskan akreditasi institusi pada Juli 2025. Namun, berbulan-bulan setelah asesmen, papan nama “Rektorat” masih terpampang di gedung laboratorium. Di sinilah paradoks mencuat: apakah akreditasi dipahami sebagai refleksi jujur tentang kualitas institusi atau sekadar kosmetik pencitraan?

Dalam filosofi asesmen dan evaluasi, akreditasi mestinya menjadi momentum kontemplatif, bukan kompetisi dekoratif. Asesor hadir untuk menguji denyut tridharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Menurut Will Miller (2025), proses akreditasi kini sering diperlakukan sebagai ritual administratif belaka. Dokumen tersusun rapi, gedung tampak menawan, dan asesor “disambut” dengan ritual mengesankan. Miller menyebut ini sebagai jebakan compliance: kampus berlomba menjadi taat secara formil, tetapi miskin secara substantif.

Dalam konteks ini, ketika laboratorium sebagai jantung inovasi dikorbankan demi panggung pencitraan, maka yang lahir bukanlah transformasi akademik, melainkan deformasi nalar. Bangunan megah bisa memukau sesaat, tetapi tak akan pernah menggantikan kualitas pembelajaran yang berpihak pada mahasiswa.

Sewa Laboratorium: Ketimpangan Wewenang dalam Tata Kelola Akademik

Masalah semakin jelas ketika mencermati penerbitan SK Rektor Nomor 307/UN.60/KU/2025 tentang Penetapan Tarif Sewa Alat Laboratorium, yang ditetapkan pada 25/07/2025. Anehnya, SK ini terbit hanya berdasarkan usulan Kepala Biro Akademik, Perencanaan, dan Keuangan tertanggal 22/07/2025, tanpa pelibatan Kepala Laboratorium Terpadu yang secara fungsional paling memahami kondisi riil, risiko keselamatan, pengelolaan bahan berbahaya, dan kebutuhan tridarma.

Pertanyaan pun muncul: bagaimana mungkin kebijakan strategis terkait fasilitas akademik ditentukan oleh unit administratif tanpa melibatkan pengelola utama? Apakah biro administrasi kini mengambil alih otoritas akademik?

Kejanggalan ini semakin terang ketika mencermati SK Rektor Nomor 306/UN60/PG/2025 tentang Tim Penyusun Harga Sewa Alat Lab, yang justru baru ditetapkan tiga hari kemudian, yakni pada 28/07/2025. Artinya, tarif telah ditetapkan sebelum tim penyusunnya dibentuk secara legal. Ini jelas membalikan logika prosedur administrasi yang sehat: hasil kebijakan ditentukan lebih dulu baru timnya dibentuk.

Proses penyusunan tarif sewa laboratorium yang digagas tanpa uji publik dan tanpa melibatkan struktur akademik mencerminkan lemahnya tata kelola partisipatif. Laboratorium yang seharusnya menjadi ruang kolektif untuk riset dan pembelajaran justru diperlakukan sebagai aset birokrasi. Ketika otoritas akademik disingkirkan oleh dominasi administratif, maka yang terganggu bukan hanya fungsi melainkan juga martabat institusi.

Ancaman Demokrasi di Balik KIP Kuliah

Isu lain yang memantik kemarahan mahasiswa adalah larangan demonstrasi bagi penerima KIP Kuliah, yang diduga berasal dari internal pengelola beasiswa. Larangan ini dinilai sebagai tekanan terselubung yang melanggar hak konstitusional mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.

Padahal, mahasiswa penerima KIP adalah bagian integral dari komunitas kampus yang juga terdampak kebijakan alih fungsi laboratorium dan krisis ruang kuliah. Melabeli mereka sebagai pihak yang "harus diam karena menerima bantuan negara" merupakan reduksi terhadap eksistensi intelektual mahasiswa. Beasiswa tidak boleh dijadikan alat pembungkam aspirasi.

Ancaman semacam ini tidak hanya bertentangan dengan semangat demokrasi, tetapi juga mencederai esensi pendidikan tinggi yang menjunjung kebebasan berpikir dan berbicara. Jika kondisi ini dibiarkan, kampus akan kehilangan jiwanya sebagai arena dialektika dan pembentukan karakter yang berintegritas.

Refleksi Kepemimpinan dan Seruan Perubahan

Demonstrasi besar di Unimor bukanlah letupan emosional sesaat, melainkan akumulasi dari kekecewaan panjang terhadap pola kepemimpinan yang eksklusif dan abai pada kebutuhan mahasiswa. Dari alih fungsi laboratorium, penyewaan ruang belajar, hingga intimidasi terhadap penerima KIP, semuanya mengindikasikan krisis tata kelola serius.

Dalam situasi ini, penulis sebagai bagian integral dari Unimor mengajak pimpinan universitas seyogianya tidak melihat aksi mahasiswa sebagai ancaman, melainkan sebagai medan refleksi manajemen kampus sekaligus titik balik untuk menghidupkan kembali roh sejati perguruan tinggi: ruang dialog, otonomi akademik, dan nalar kritis.

Semoga Unimor sebagai perguruan tinggi negeri di perbatasan negara, senantiasa bertumbuh dalam semangat Sapientia et Veritas, menjadi institusi yang bijaksana dalam membaca realita dan teguh dalam menegakkan kebenaran demi masa depan bangsa yang inklusif dan bermartabat. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang duduk di kursi empuk rektorat, tetapi siapa yang berani menjaga marwah universitas sebagai tempat lahirnya inovasi dan kebebasan.