Mengintip Saham TOBA Cs di Balik Peluang Energi Sampah Danantara

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Proyek Waste to Energy Menarik Perhatian Investor

Saham dari emiten yang memiliki portofolio di sektor waste to energy (WTE) kian menarik perhatian investor. Hal ini terjadi karena arah kebijakan Presiden Prabowo melalui Danantara Indonesia, yang akan membangun fasilitas pembangkit listrik dari limbah. Proyek WTE saat ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah, terutama melalui penerbitan Patriot Bond oleh Danantara.

Menurut Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas M. Nafan Aji Gusta, proyek WTE telah mendapatkan dukungan investasi yang signifikan. Berdasarkan dokumen yang diterima, pemesanan Obligasi Patriot atau Patriot Bonds mencatatkan komitmen 46 investor sebesar Rp51,75 triliun per 19 September 2025. Angka ini melebihi target Danantara sebesar Rp50 triliun. Dana segar ini akan digunakan untuk membiayai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL).

Berdasarkan hitungan Danantara, kebutuhan untuk pembangunan satu titik proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari beserta infrastruktur pendukungnya mencapai Rp2 triliun-Rp3 triliun. Dengan asumsi akan terdapat 33 titik pembangunan, total dana yang dibutuhkan mencapai Rp66 triliun hingga Rp99 triliun.

Nafan menyatakan bahwa jika ada keterlibatan emiten seperti PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA) dan PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk. (BIPI) dalam proyek pemerintah tersebut bisa menjadi peluang besar dalam jangka panjang. Ia juga mengatakan bahwa emiten-emiten non big caps yang sebelumnya kinerja keuangannya relatif underwhelming, dengan adanya pembangunan PSEL atau WTE diharapkan bisa memperbaiki kinerja fundamental mereka.

Di lantai bursa, Nafan melihat harga saham emiten-emiten sektor WTE sepanjang tahun ini sudah priced in oleh sentimen proyek WTE Danantara. OASA hingga Rabu (1/10/2025) secara year to date melejit 73,05% ke Rp244 dengan net buy asing sebesar Rp234,38 miliar. Adapun, harga BIPI secara year to date tumbuh 13,79% ke Rp99 dengan net buy Rp382,13 miliar. Sementara itu, harga TOBA sejak awal tahun melambung 211,56% ke Rp1.240, walau menorehkan net sell asing sebesar Rp20,64 miliar.

Namun, ada juga saham emiten pemilik portofolio WTE yang harganya jatuh. Misalnya, saham PT United Tractors Tbk. (UNTR) merosot 2,71% year to date ke Rp26.050 yang diikuti net sell asing Rp60,97 miliar. Atau, saham PT Sumber Global Energy Tbk. (SGER) yang turun 13,61% ke Rp330, walau ada net buy asing Rp6,38 miliar.

Nafan memberikan saran agar wait and see terhadap semua saham tersebut, dan menunggu bagaimana emiten-emiten itu mengeksekusi rencana proyek WTE mereka, khususnya OASA dan BIPI. "Sebenarnya sudah priced in, tapi tinggal implementasinya yang kita harus tunggu. Karena kalau tidak ada implementasi ke depan, itu akan jadi sentimen negatif," pungkasnya.

Perbedaan Aliran Dana Asing dan Rekomendasi Investasi

Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas melihat perbedaan aliran dana asing yang tecermin di setiap saham tersebut mencerminkan persepsi risiko dan valuasi. Misalnya TOBA dan UNTR, meski fundamental kuat, sahamnya tercatat net sell year to date karena investor asing cenderung mengambil profit atau menilai valuasi sudah relatif premium.

Adapun, untuk OASA, SGER, BIPI mencatatkan net buy karena dipandang sebagai growth story baru, meski basis fundamental mereka lebih kecil. Sukarno menduga, investor asing mungkin spekulatif dan mengantisipasi percepatan regulasi dan headline news proyek WTE.

Sukarno merekomendasikan buy untuk TOBA dan SGER. Alasannya, TOBA dinilai paling difensif karena sudah membukukan kontribusi dari proyek WTE, sedangkan SGER menarik karena target pendapatan dari WTE yang disasar perusahaan mulai terlihat. Sukarno menilai SGER cocok untuk investor yang mencari growth play.

Kemudian, dia merekomendasikan trading buy untuk BIPI. Alasannya, emiten ini dia nilai cukup prospektif, tetapi berisiko tinggi karena proyek masih tahap awal dan butuh pendanaan besar. Selanjutnya, dia merekomendasikan wait and see untuk OASA. Menurutnya, proyek jangka panjang dengan target 2028 memang menarik untuk long-term play, namun belum ada kontribusi jangka pendek.

Sisanya, rekomendasi hold untuk UNTR. "UNTR tetap solid secara fundamental, tapi kontribusi WTE masih sangat kecil, di bawah 5%. Jadi katalis belum signifikan," pungkasnya.

Analisis Valuasi dan Potensi Pertumbuhan

Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi menilai meskipun TOBA saat ini menjadi emiten terdepan di proyek WTE ini, dia menilai valuasinya saat ini relatif mahal, diperdagangkan di sekitar 21 kali EV/EBITDA, jauh di atas rata-rata global pemain waste management di level 11–16 kali. Artinya, pasar sudah menghargai 'cerita transisi energi' TOBA cukup tinggi.

"Kami melihat TOBA cocok untuk investor yang mencari stabilitas jangka panjang karena sudah terbukti menghasilkan pendapatan dari WTE, meski upside harga sahamnya terbatas akibat valuasi mahal," ujar Imam.

Sementara jika dilihat dari sentimen investor asing, Imam melihat ada pola yang menarik, di mana saham-saham yang basis bisnisnya relatif kecil atau baru masuk WTE seperti OASA, SGER, dan BIPI mendapat arus dana asing karena potensi pertumbuhannya bisa langsung terasa.

Menurutnya, SGER dan BIPI punya potensi pertumbuhan menarik karena momentum WTE bisa berdampak signifikan terhadap pendapatan mereka di masa depan, walau tetap ada risiko pendanaan dan eksekusi proyek.

"OASA lebih bersifat spekulatif karena proyeknya baru akan berjalan 2028, sedangkan UNTR lebih pas dilihat sebagai saham dividen/value play ketimbang energi hijau," pungkasnya.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. news.aiotrade.app tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.