:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1759374/original/098590100_1509703083-20171103-Setya-Novanto-HA1.jpg)
Penjelasan Menteri Hukum tentang Pembebasan Bersyarat Setya Novanto
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, memberikan pernyataan terkait polemik pembebasan bersyarat yang diterima oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mengomentari keputusan tersebut.
Supratman menjelaskan bahwa pembebasan bersyarat merupakan kewenangan pengadilan. "Kalau itu, aku enggak bisa jawab, karena itu keputusan pengadilan. Pemerintahan enggak bisa campur," ujar Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/8/2025).
Ia menekankan bahwa kewenangan kementeriannya hanya terbatas pada urusan amnesti, abolisi, atau rehabilitasi. "Kalau pembebasan bersyarat bukan di Menteri Hukum," jelasnya.
Pembebasan bersyarat adalah hak narapidana yang memenuhi syarat tertentu. Diberitakan sebelumnya, mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung. Ia dibebaskan pada Sabtu, 16 Agustus 2025.
Setya Novanto adalah terpidana Kasus Korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Hukuman itu dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan lewat Peninjauan Kembali (PK) di MA.
Konfirmasi dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, mengonfirmasi bahwa pembebasan bersyarat tersebut sah. Agus menjelaskan bahwa keputusan bebas bersyarat tersebut sudah melalui mekanisme hukum yang berlaku.
“Iya, karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu,” kata Agus di Istana Negara, Jakarta, Minggu (17/8/2025).
Menurutnya, Setya Novanto tidak lagi memiliki kewajiban melapor karena denda subsider telah dibayar. “Nggak ada. Karena kan denda subsidier sudah dibayar,” tegasnya.
Agus juga menambahkan, pengurangan masa hukuman bagi Setya Novanto merupakan konsekuensi dari putusan peninjauan kembali (PK) yang diajukan. “Putusan PK kan kalau nggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” pungkasnya.
Perjalanan Kasus Setya Novanto
Perjalanan kasus Setya Novanto sendiri penuh drama. Sebelum terjerat kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto adalah politisi senior yang sudah lama malang melintang di kancah perpolitikan Indonesia.
Ia memulai karier politiknya sebagai kader Kosgoro pada tahun 1974. Setya Novanto kemudian berhasil menjadi anggota DPR Fraksi Partai Golkar untuk pertama kalinya pada 1998. Sejak saat itu, ia berhasil mengamankan kursinya di parlemen selama enam periode berturut-turut.
Setya Novanto juga pernah menduduki posisi penting sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR. Namun, karier politiknya hancur saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka.
Penetapan tersangka itu terjadi pada 17 Juli 2017. Kasus ini bermula dari proyek e-KTP, sebuah program nasional untuk memperbaiki data kependudukan. Namun, lelang proyek yang dimulai sejak 2011 sudah bermasalah. Terjadi indikasi kuat adanya penggelembungan dana.
Skandal ini terendus setelah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, buka suara. KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong yang dilakukan secara sistemik. Akibat korupsi ini, negara mengalami kerugian hingga Rp 2,3 triliun.
Setya Novanto disebut memiliki peran sentral dalam mengatur anggaran proyek e-KTP. Saat penetapan itu, Setya Novanto sempat mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, ia dikabarkan mengalami kecelakaan mobil. Pengacaranya saat itu menyebut ada benjolan di kepala Novanto.
Ia kemudian ditahan KPK pada 19 November 2017. Di sidang perdana, ia sempat berulah. Setnov mengaku sakit dan tidak mau berbicara. Namun, ia akhirnya divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018. Ia kemudian mengajukan PK untuk melawan putusan itu. Setelah bertahun-tahun, PK-nya akhirnya dikabulkan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!