
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa
Pada hari Selasa, 23 September, Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif yang mencakup berbagai aspek seperti perdagangan barang dan jasa, investasi, perlindungan lingkungan, serta keberlanjutan. Kesepakatan ini diberi nama Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership (IEU-CEPA) dan merupakan hasil dari negosiasi yang berlangsung hampir selama satu dekade.
Dalam pernyataannya di sela-sela seremoni penandatanganan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa kesepakatan ini memiliki potensi untuk meningkatkan perekonomian Indonesia sebesar US$2,8 miliar. Ia juga mengatakan bahwa IEU-CEPA akan menciptakan lebih dari 5 juta pekerjaan. Dengan fitur komprehensifnya, ekspor Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan akan meningkat 2,5 kali lipat dalam lima tahun implementasi ke depan.
Para pelaku usaha menyambut baik kehadiran IEU-CEPA, karena mereka melihatnya sebagai peluang percepatan ekspor. Namun, para pengamat menilai bahwa kerja sama ini harus disertai dengan kebijakan yang memadai agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh pelaku industri besar.
Apa Itu IEU-CEPA?
IEU-CEPA adalah perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa yang mencakup perdagangan barang dan jasa, investasi, serta ekonomi berkelanjutan. Melalui kerja sama ini, produk-produk ekspor Indonesia akan mendapatkan tarif nol persen di 90,4% pasar Uni Eropa, termasuk komoditas unggulan seperti sawit, tekstil, alas kaki, produk perikanan, dan bahan baku energi terbarukan. Kesepakatan ini juga membuka akses bagi investor asal Uni Eropa untuk menanamkan modal di Indonesia, sehingga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru.
Diinisiasi sejak 2016, kesepakatan ini baru mencapai kesepakatan sembilan tahun kemudian setelah melalui setidaknya 17 pertemuan. Selama bertahun-tahun, beberapa isu menjadi penyebab kedua pihak maju-mundur dalam meneken kesepakatan, mulai dari tudingan deforestasi yang disebabkan industri sawit Indonesia oleh Uni Eropa, standar sanitasi dan kebersihan yang harus dipenuhi pelaku industri, hingga besaran tarif bea masuk.
Setelah proses panjang, kedua pihak akhirnya mencapai kesepakatn, ditandai penandatanganan substansial pada 23 September 2025 di Nusa Dua, Bali. Penandatanganan dilakukan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Komisioner Perdagangan Dan Keamanan Ekonomi Uni Eropa, Maros Sefcovic.
Sektor Yang Diuntungkan Oleh IEU-CEPA
BBC News Indonesia melakukan wawancara dengan sejumlah pengamat ekonomi soal perjanjian ini. Mereka sepakat menyebut IEU-CEPA memberikan dampak baik bagi perekonomian Indonesia. Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menyebut kesepakatan ini sebagai "kemenangan diplomasi ekonomi" Indonesia. Setelah negosiasi sembilan tahun, ini menandai reposisi strategis Indonesia di pasar berstandar tinggi Eropa.
Syafruddin mengatakan, keberadaan poin tarif nol persen bagi 90,4% produk ekspor Indonesia menjadi salah satu hal baik dari kesepakatan ini. Musababnya, tarif yang selama ini menjadi salah satu hambatan besar produk Indonesia untuk masuk ke Eropa, kini tak lagi menjadi halangan. Ia pun menyebut sejumlah sektor akan diuntungkan setelah penandatanganan IEU-CEPA, seperti sawit serta produk turunannya, tekstil, dan komoditas untuk transisi energi seperti nikel dan tembaga.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyebut beragam sektor industri bakal meraup benefit setelah kesepakatan ini. Untuk ekspor, sektor yang diuntungkan itu adalah sawit serta produk manufaktur seperti garmen dan tekstil. Mereka bisa memperluas pangsa pasar di sana. Yose juga menyebut produk-produk Indonesia dapat menyebarluas ke wilayah lain, mengingat perusahaan-perusahaan Uni Eropa sejatinya tak hanya beroperasi dan mendistribusikan barang mereka di Benua Biru.
Neraca Perdagangan Indonesia Terhadap Uni Eropa
Merujuk data Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia terhadap Uni Eropa terus mencatat surplus beberapa tahun terakhir. Pada 2024, surplus perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa mencapai US$4,4 miliar, naik US$2,5 miliar dari tahun sebelumnya. Tren itu berlanjut sampai awal 2025, di mana sepanjang periode Januari hingga April, surplus perdagangan Indonesia terhadap Uni Eropa mencapai US$2,33 miliar.
Uni Eropa merupakan mitra dagang kelima terbesar Indonesia, sebaliknya Indonesia menempati peringkat ke-33 mitra dagang global bagi Uni Eropa. Indonesia mengekspor sawit beserta produk turunannya, bijih tembaga, alas kaki, dan bungkil serta residu padat ke Uni Eropa. Adapun impor selama ini meliputi kendaraan, obat-obatan, dan mesin industri.
Keuntungan Lain Dari IEU-CEPA Bagi Indonesia
Selain mendapat benefit dengan kepastian dan perluasan pasar ke negara-negara Uni Eropa, Yose dan Syafruddin juga menilai masuknya produk-produk dari kawasan itu pun akan memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia. Yose mengatakan, Uni Eropa selama ini terkenal memiliki produk-produk berkualitas, terutama di sektor teknologi, sparepart, dan mesin produksi. Dengan perjanjian ini, barang-barang tersebut akan lebih gampang memasuki pasar Indonesia, sehingga mudah diakses oleh pelaku industri dalam negeri.
Kemudahan akses itu kemudian berimplikasi pada peningkatan kapasitas usaha para pelaku industri lokal. Yose menambahkan, hal ini akan membuka kesempatan meningkatkan kapasitas dan teknis. Syafruddin Karimi menilai kemudahan akses masuk bagi produk otomotif dan mesin dari Eropa akan mendorong ekosistem komponen lokal. Efek bersihnya bisa mengangkat manufaktur berorientasi ekspor.
Selain kemudahan akses masuk bagi produk Eropa, Syafruddin menilai kesepakatan ini akan melancarkan jalan investor asal Uni Eropa untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini kemudian berefek domino pada pembukaan lapangan kerja untuk masyarakat Indonesia.
Masa Depan Industri Sawit Selepas Kesepakatan
Sawit dan beragam produk turunannya merupakan salah satu komoditas andalan yang diekspor Indonesia ke Uni Eropa. Namun, perjalanan mengekspor komoditas itu ke pasar Eropa tergolong kompleks, bahkan sampai berujung gugatan ke World Trade Organization (WTO). Gugatan itu berakar pada tudingan Uni Eropa terhadap Indonesia perihal tudingan deforestasi dan ketiadaan standar keberlanjutan dalam industri sawit di Indonesia.
Pemerintah Indonesia membantah dan balik menuding Uni Eropa bersikap diskriminatif. Belakangan, WTO memenangkan gugatan Indonesia pada 10 Januari 2025, menyebut Uni Eropa terbukti bersikap diskriminatif terhadap produk sawit dari Indonesia. Organisasi Perdagangan Dunia itu menilai Uni Eropa gagal memenuhi kewajiban prosedural berupa transparansi data karena tidak menetapkan standar serupa terhadap produk negara lain seperti bunga matahari.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono pada 4 Agustus 2025 menyebut Uni Eropa kemudian menerapkan "protokol khusus" bagi produk sawit asal Indonesia. Status itu, terang Djatmiko, diberikan Uni Eropa setelah menilai sawit Indonesia sebagai "sumber yang berkelanjutan."
Dalam IEU-CEPA, sawit termasuk ke dalam produk yang beroleh tarif nol persen, setelah sebelumnya dikenakan tarif 8-10 persen. Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (GAPKI) pada Juni 2024 mencatat volume ekspor sawit dan produk turunannya ke Uni Eropa mencapai 275.000 ton.
Komentar Pelaku Usaha
Perusahaan besar, terang Syafruddin, memang lebih siap menjalankan ketentuan EUDR lantaran memiliki kekuatan dana untuk membiayai pemetaan geospasial, audit, dan sistem TRACES. Sebaliknya, perusahaan kecil dan menengah tidak memiliki kapasitas tersebut. Oleh karena itu, ia pun menyarankan pemerintah membentuk model agregator serupa koperasi, platform ketelusuran yang bisa dipakai bersama, serta pembiayaan berbasis kepatuhan agar beban finansial pengusaha dapat ditekan.
Soal kesiapan memenuhi EUDR disampaikan Ketua Umum GAPKI Eddy Martono. Menurutnya, para pengusaha sejak 2011 sejatinya sudah melakukan moratorium pembukaan lahan sawit baru sehingga siap menyambut kesepakatan IEU-CEPA. Eddy menyebut, potensi pengadang untuk memenuhi standar EUDR justru berasal dari petani atau masyarakat yang menanam sawit. Tandan buah segar mereka juga harus dibeli perusahaan karena mereka tidak ada pabrik pengolahan.
Komentar Pemerintah
Meski diteken tahun ini, IEU-CEPA belum otomatis berlaku lantaran harus melalui proses ratifikasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah menargetkan kesepakatan itu berlaku paling lambat pada 1 Januari 2027. Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto tak memerinci kapan naskah kesepakatan bakal diserahkan kepada DPR. Ia hanya mengatakan "target ratifikasi kedua pihak diselesaikan pada 2026 sehingga dapat diimplementasikan pada 1 Januari 2027."
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!