
Proses Hukum Terhadap Anak Berhadapan Hukum dalam Kasus Kekerasan di Sekolah
Perkara kekerasan yang terjadi di SMKN 1 Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, telah memicu perhatian besar dari berbagai pihak. Status anak berhadapan hukum (ABH) yang terlibat dalam kasus ini akan tetap diperlakukan melalui jalur hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga hak-hak anak serta memberikan perlindungan hukum yang layak.
Dalam proses penyidikan, lima tersangka telah ditetapkan. Di antara mereka, satu orang adalah dewasa dan empat lainnya merupakan pelajar yang memiliki status ABH. Kejadian ini berujung pada cedera serius di bagian rahang korban, yang berinisial A (16). Kejadian ini tidak hanya menjadi duka bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi isu penting tentang keamanan dan kenyamanan lingkungan pendidikan.
Motif Kekerasan yang Bermula dari Unggahan Foto
Berdasarkan keterangan dari 12 saksi, termasuk guru, orang tua, dan pelajar, diketahui bahwa motif kekerasan bermula dari unggahan foto korban pada aplikasi pesan singkat. Foto tersebut menunjukkan korban sedang bersama seorang teman perempuan dengan seragam sekolah. Unggahan ini dianggap melanggar aturan tak tertulis yang dibuat oleh para kakak kelas. Aturan tersebut melarang siswa SMKN 1 Cikarang Barat berinteraksi dengan pelajar dari kelas maupun jurusan lain.
Pihak kepolisian juga mengungkap bahwa para pelaku merupakan bagian dari kelompok pelajar yang dikenal sebagai “basis”. Kelompok ini memiliki catatan khusus dalam pembinaan kesiswaan. Namun, aturan internal yang diterapkan oleh kelompok senior ini bukanlah kebijakan resmi dari pihak sekolah. Hal ini menunjukkan adanya ancaman dari struktur internal sekolah yang tidak terkontrol dan bisa memicu tindakan represif terhadap siswa.
Penolakan Orang Tua dan Kritik terhadap Pengawasan Sekolah
Orang tua korban, Indra Prahasta (41), menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan yang dialami putrinya. Ia menekankan bahwa harapan keluarga adalah penegakan hukum yang adil serta hukuman setimpal bagi para pelaku. Selain itu, ia juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari pihak sekolah. Menurutnya, kasus seperti ini bisa dicegah jika ada kontrol ketat dari guru agar siswa tidak leluasa keluar saat jam istirahat.
Dukungan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Dari sisi pendampingan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Bekasi telah menurunkan tenaga ahli untuk membantu korban. Dukungan yang diberikan mencakup konseling psikologis guna memulihkan trauma korban. Selain itu, juga dilakukan pendampingan hukum ketika korban sudah siap memberikan keterangan kepada penyidik.
Koordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga akan dipertimbangkan jika diperlukan perlindungan tambahan. Langkah-langkah ini menunjukkan upaya pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan secara holistik kepada korban kekerasan.
Menciptakan Lingkungan Sekolah yang Aman dan Ramah Anak
Kasus ini menjadi pengingat bahwa praktik kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi tantangan serius. Pemerintah daerah bersama aparat hukum diharapkan mampu menghadirkan solusi yang efektif agar lingkungan sekolah kembali aman, ramah anak, dan bebas dari perundungan. Dengan kolaborasi yang kuat antara pihak sekolah, keluarga, dan pemerintah, diharapkan dapat mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!