
Pentingnya Uji Materi terhadap Undang-Undang Kesehatan
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. M. Mukhlis Rudi Prihatno, menyoroti pentingnya mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk memastikan kepastian hukum dan menjaga arah pengembangan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Rudi menyampaikan pernyataannya di Purwokerto, Jawa Tengah, pada Senin malam (18/8). Ia menjelaskan bahwa dirinya bersama seorang dokter spesialis dan dua mahasiswa kedokteran telah resmi mengajukan permohonan uji materi atas sejumlah pasal dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meskipun secara umum undang-undang ini dinilai baik, Rudi menegaskan bahwa pendekatan khusus diperlukan dalam hal pendidikan kedokteran.
Sebelumnya, pendidikan kedokteran diatur dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Namun, undang-undang tersebut kini telah dicabut dan digantikan oleh UU Kesehatan. Perubahan ini menimbulkan berbagai masalah baru, terutama dalam tata kelola pendidikan dokter spesialis.
Menurut Rudi, hilangnya UU Pendidikan Kedokteran menciptakan ketidakstabilan di kalangan akademisi dan mahasiswa. Aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa serta guru besar beberapa waktu lalu mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap perubahan sistem pendidikan kedokteran.
Selama 50 tahun, pendidikan kedokteran berjalan stabil. Ketika pendidikan ini berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, semua sistem berjalan baik. Namun, situasi kini berubah total.
Isu utama yang muncul adalah pergeseran sistem pendidikan spesialis dari skema yang berbasis universitas menjadi yang berbasis rumah sakit. Rudi menilai perubahan ini menimbulkan banyak pertanyaan, salah satunya tentang kewenangan rumah sakit dalam memberikan gelar akademik.
Ia menegaskan bahwa hanya perguruan tinggi yang secara hukum berhak memberikan gelar akademik, sesuai dengan UU Pendidikan Tinggi. Sementara itu, rumah sakit sebagai institusi layanan kesehatan belum tentu mampu menjalankan tridharma perguruan tinggi—pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Selain itu, penerapan sistem hospital-based dikhawatirkan memicu masalah kuota. Contohnya, di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, satu rumah sakit bisa digunakan lebih dari satu universitas. Akibatnya, jumlah mahasiswa dari universitas justru dikurangi dan dialihkan ke skema hospital-based.
"Jika tujuannya menambah jumlah dokter spesialis, seharusnya kuotanya bertambah, bukan sekadar bergeser," tegas Rudi.
Rudi juga menyoroti bahwa UU Kesehatan tidak merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur satu sistem pendidikan nasional. Ia menilai ini sebagai kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian.
Sementara itu, Azam Prasojo Kadar, anggota tim kuasa hukum, menyatakan bahwa permohonan uji materi telah didaftarkan pada 13 Agustus 2025. Ia berharap MK segera memprosesnya agar polemik dualisme antara pendidikan universitas dan rumah sakit bisa segera diselesaikan.
Menurut Azam, pendidikan dokter spesialis dan subspesialis seharusnya tetap dikelola di bawah sistem pendidikan tinggi. Ia juga menilai bahwa rumah sakit pendidikan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menyelenggarakan pendidikan dokter secara penuh.
"Jika tidak dikembalikan ke sistem pendidikan tinggi, dikhawatirkan akan timbul konflik kepentingan dan ketidakpastian hukum," katanya.
Azam menutup pernyataannya dengan harapan agar Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan posisi pendidikan kedokteran pada tempatnya—di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!