Mengapa Ada yang Malas Berinteraksi? Ini Penyebab dan Dampak Social Withdrawal Menurut Psikologi

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Mengapa Ada Orang yang Malas Berinteraksi?

Pertanyaan ini sering muncul ketika kita melihat seseorang lebih memilih menyendiri daripada terlibat dalam percakapan sosial. Fenomena ini tidak hanya sekadar sifat introvert atau tidak suka keramaian, tetapi bisa terkait dengan kondisi psikologis yang lebih dalam. Dalam dunia psikologi, kondisi ini dikenal sebagai social withdrawal.

Penelitian di Seoul menunjukkan bahwa isolasi sosial yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih berkorelasi signifikan dengan risiko gejala depresi, khususnya pada perempuan, dengan odds ratio (OR) mencapai 6,04. Artinya, mereka yang mengalami social withdrawal berkepanjangan enam kali lebih rentan mengalami depresi dibandingkan yang tidak.

Secara umum, prevalensi perilaku penarikan diri sosial ini diperkirakan sekitar 3,2% di populasi, dengan laki-laki memiliki angka lebih tinggi (7,0%) dibandingkan perempuan (2,3%). Data ini menunjukkan bahwa social withdrawal bukanlah fenomena sepele, melainkan masalah kesehatan mental yang nyata dan perlu mendapat perhatian serius.

Ciri-Ciri Orang yang Mengalami Social Withdrawal

Social withdrawal sering muncul secara bertahap. Awalnya terlihat seperti kebutuhan untuk “me time”, tapi lama-lama bisa berkembang menjadi kebiasaan yang berdampak serius pada kesehatan mental. Berikut adalah ciri-ciri yang perlu diperhatikan:

  1. Mengurangi Interaksi Sosial
    Orang yang mengalami social withdrawal cenderung menolak undangan, sering membatalkan rencana, atau berhenti terlibat dalam kegiatan komunitas. Kontak dengan keluarga dan teman juga semakin jarang, bahkan sekadar membalas pesan pun bisa terasa berat.

  2. Perubahan Perilaku dan Emosi
    Seseorang bisa menjadi lebih mudah tersinggung, mengalami perubahan suasana hati drastis, atau terlihat lebih cemas. Gangguan tidur dan perubahan pola makan juga sering muncul.

  3. Komunikasi yang Menurun
    Komunikasi menjadi jembatan utama dalam hubungan sosial. Namun, pada social withdrawal, jembatan ini mulai retak. Orang yang mengalaminya biasanya memberikan jawaban singkat, tampak tidak antusias saat diajak bicara, atau bahkan menghindari kontak mata.

  4. Terlalu Banyak Menghabiskan Waktu Sendiri
    Menyendiri sesekali wajar, tetapi jika kesendirian menjadi pola hidup dominan, ini bisa menjadi tanda social withdrawal. Mereka lebih suka menolak ajakan keluar rumah, menghindari tempat umum, atau memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan sendirian.

  5. Kehilangan Minat pada Hobi dan Aktivitas
    Hilangnya ketertarikan pada hal-hal yang dulu membawa kebahagiaan, seperti olahraga atau klub yang dulu disukai, bisa menjadi indikator penting. Kehilangan minat ini bukan hanya soal kegiatan, tetapi juga tanda menurunnya motivasi dan energi emosional.

Penyebab Social Withdrawal yang Perlu Dipahami

Social withdrawal tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor psikologis, lingkungan, hingga kepribadian yang bisa membuat seseorang menjauh dari interaksi sosial. Berikut beberapa penyebab umum:

  1. Kondisi Kesehatan Mental
    Social withdrawal sering menjadi gejala dari masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, PTSD, autisme, hingga skizofrenia.

  2. Shyness atau Rasa Malu Berlebihan
    Individu yang pemalu cenderung menghindari situasi sosial karena merasa canggung atau cemas.

  3. Trauma dan Pengalaman Buruk
    Bagi penyintas trauma, interaksi sosial bisa memunculkan rasa takut, kewaspadaan berlebih, atau bahkan emosi yang tidak terkendali.

  4. Rendahnya Harga Diri
    Orang dengan kepercayaan diri yang rendah seringkali takut ditolak atau merasa tidak layak berhubungan dengan orang lain.

  5. Dinamika Keluarga dan Lingkungan
    Hubungan keluarga yang disfungsional, adanya riwayat penyakit psikiatri, atau pengalaman masa kecil yang penuh tekanan dapat menjadi akar social withdrawal.

  6. Kepribadian dan Preferensi
    Tidak semua social withdrawal disebabkan oleh masalah psikologis. Ada orang yang memang lebih nyaman menghabiskan waktu sendirian, misalnya para introvert.

  7. Penolakan Sosial
    Tidak sedikit orang yang terpaksa menarik diri karena dikeluarkan dari kelompok sosial, mengalami diskriminasi, atau dianggap “berbeda”.

  8. Faktor Perkembangan dan Usia
    Anak-anak dan remaja bisa mengalami social withdrawal akibat bullying, tekanan teman sebaya, atau masalah akademis. Sementara itu, pada lansia, isolasi sering terjadi karena pensiun, kehilangan pasangan, hidup sendiri, atau penyakit kronis.

  9. Stres yang Berkepanjangan
    Stres berat juga dapat mendorong seseorang untuk menarik diri sebagai bentuk coping.

Dampak Social Withdrawal bagi Kesehatan dan Kehidupan

Menarik diri dari interaksi sosial tidak hanya sekadar soal kehilangan teman atau relasi, tapi bisa berkembang menjadi fenomena yang jauh lebih serius. Isolasi sosial dapat meningkatkan risiko kematian dini, penyakit jantung, hingga stroke. Selain itu, social withdrawal juga berkaitan dengan meningkatnya risiko demensia dan kesehatan mental yang terancam.

Cara Mengatasi Social Withdrawal

Meski terlihat menakutkan, social withdrawal bukanlah jalan tanpa ujung. Teknik relaksasi seperti pernapasan dalam, yoga, atau meditasi dapat meredakan kecemasan. Mulailah dari langkah kecil, seperti menghubungi satu atau dua orang terdekat. Bergabung dalam kelompok dukungan sebaya juga dapat memberi ruang untuk berbagi pengalaman tanpa rasa dihakimi. Jika gejala terasa semakin berat, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Seorang psikolog atau psikiater dapat memberikan diagnosis, strategi, hingga terapi yang sesuai.