Mengapa Banyak Motor Honda 'STNK Only'?

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Penjualan Motor Honda Bekas dengan STNK Only: Fenomena yang Mengkhawatirkan

Di pasar motor bekas, khususnya di platform jual beli online, marak ditemukan penawaran motor Honda dengan harga yang tergolong sangat murah. Contohnya, Honda Beat tahun muda bisa ditemukan dengan harga di bawah Rp5 juta, dan Honda Vario tahun muda ditawarkan dengan harga di bawah Rp10 juta. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa motor Honda bekas bisa semurah itu?

Ternyata, sebagian besar motor-motor tersebut dijual dalam kondisi "STNK Only", artinya hanya dilengkapi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tanpa Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Fenomena ini semakin mencolok jika dibandingkan dengan merek lain seperti Yamaha, yang relatif jarang ditemukan dalam kondisi serupa.

Akar Masalah: Proses Kredit yang Terlalu Mudah

Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah proses pengajuan kredit motor Honda yang tergolong sangat mudah. Leasing yang bekerja sama dengan Honda, seperti FIF, memiliki kebijakan yang mempermudah masyarakat dalam mengakses pembiayaan kendaraan, bahkan bagi yang memiliki riwayat kredit buruk atau pernah masuk daftar hitam.

Kemudahan ini bukan tanpa alasan. Honda memiliki target penjualan yang sangat besar, dan sekitar 70% transaksi motor di Indonesia dilakukan secara kredit. Maka, semakin mudah proses kredit, semakin tinggi peluang Honda untuk mencapai target penjualannya. Namun, kebijakan ini justru menjadi boomerang dalam jangka panjang.

Motor Kredit Dijual Tanpa BPKB

Tidak sedikit konsumen yang mengalami gagal bayar atau kredit macet. Karena tidak mampu melanjutkan cicilan, sebagian dari mereka memilih menjual motornya dalam kondisi hanya memiliki STNK. BPKB biasanya masih ditahan oleh pihak leasing hingga seluruh cicilan lunas. Alasan yang sering diberikan oleh penjual adalah BPKB hilang, tercecer, atau rusak karena banjir.

Hal ini terjadi bukan hanya karena kelonggaran sistem leasing, tetapi juga karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hukum terkait kepemilikan kendaraan dan pelanggaran leasing memang ada, namun dalam praktiknya sering kali tidak ditegakkan secara tegas. Akibatnya, pasar motor STNK only terus berkembang.

Siapa Pembelinya dan Mengapa Tetap Laku?

Motor dalam kondisi STNK only tetap memiliki pasar tersendiri. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama. Harga motor baru yang terus naik setiap tahun membuat sebagian kalangan tidak mampu membeli motor secara resmi. Padahal, bagi banyak orang, sepeda motor sudah menjadi kebutuhan pokok, bukan lagi barang mewah.

Motor STNK only umumnya digunakan di daerah terpencil, kebun, atau wilayah pedalaman yang jauh dari pengawasan aparat maupun sistem pelacakan digital seperti Eagle Eye. Dengan kondisi seperti ini, motor tersebut tidak mudah terdeteksi dan dianggap "aman" untuk digunakan, meski status hukumnya tidak sah.

Selain itu, pasar lain yang menyerap motor jenis ini adalah pedagang onderdil atau barang copotan. Dalam dunia jual beli spare part, motor STNK only sering kali dibongkar untuk diambil komponen-komponen pentingnya. Modal pembelian yang rendah memungkinkan pedagang meraih keuntungan besar dari penjualan suku cadang secara satuan.

Minimnya Penindakan dan Lemahnya Regulasi

Di sisi lain, lemahnya penindakan di jalan raya sejak diberlakukannya sistem tilang elektronik juga membuka celah. Kendaraan yang menggunakan pelat palsu atau tidak memiliki BPKB bisa tetap melenggang bebas selama tidak tertangkap tangan. Bahkan jika tertangkap, tindakan hukum lebih sering menyasar kendaraannya saja, bukan pemilik atau penggunanya.

Fenomena ini juga terjadi pada motor-motor gede (moge) bodong yang bisa diperjualbelikan secara bebas dengan status "NP" (no paper). Jika motor besar saja dapat beroperasi tanpa surat lengkap, banyak yang mulai mempertanyakan: mengapa motor kecil seperti Honda Beat harus diperlakukan berbeda?

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dari rangkaian masalah ini, pertanyaan penting yang muncul adalah: siapa yang paling bertanggung jawab? Tentu saja penjual motor STNK only memiliki peran besar dalam praktik ilegal ini. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan terletak pada sistem leasing yang terlalu longgar dan strategi penjualan Honda yang terlalu agresif dalam mengejar target pasar.

Pasar Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi Honda. Produk apapun yang diluncurkan hampir pasti laku. Namun, ketika penjualan lebih diutamakan daripada keberlangsungan sistem yang sehat dan legal, maka muncul dampak-dampak negatif seperti ini.

Risiko Hukum yang Mengintai

Meski terlihat menguntungkan secara ekonomi jangka pendek, menjual atau membeli motor dalam kondisi STNK only tetap memiliki konsekuensi hukum. Penjual bisa dikenakan pasal penipuan atau pencurian, sementara pembeli dapat dianggap sebagai penadah. Aparat atau petugas leasing pun kini semakin sering melakukan penyamaran sebagai pembeli untuk menjaring pelaku praktik ini.

Jika tertangkap, proses hukum dapat berjalan dan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat. Hal ini juga menjadi peringatan bagi semua pihak agar tidak terjebak dalam praktik jual beli kendaraan yang tidak sah.

Fenomena motor Honda STNK only tidak lepas dari kombinasi antara kelonggaran sistem pembiayaan, lemahnya regulasi hukum, dan tekanan ekonomi masyarakat. Meskipun terlihat seperti solusi instan untuk kebutuhan mobilitas, pembelian maupun penjualan motor dalam kondisi tidak lengkap seperti ini tetap mengandung risiko besar, baik secara hukum maupun etika.

Satu hal yang perlu diingat: solusi jangka pendek yang melanggar aturan tidak akan pernah menggantikan pentingnya transaksi yang sah dan aman secara hukum.