Mereka Soroti Pidato Prabowo di Sidang Tahunan MPR

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR serta DPD

Presiden Joko Widodo, atau lebih dikenal sebagai Prabowo Subianto, menyampaikan dua pidato dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) serta Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat, 15 Agustus 2025. Kedua pidato tersebut menjadi fokus utama dalam perhelatan politik nasional.

Pada pidato pertama, Prabowo menyampaikan laporan mengenai kinerja pemerintah. Selanjutnya, pidato kedua disampaikan sebagai pengantar rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026. Dalam pidato tersebut, ia menyampaikan beberapa poin penting yang menarik perhatian masyarakat.

Salah satu poin yang disampaikan adalah klaim keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang telah berjalan sejak Januari 2025. Presiden mengklaim bahwa program ini telah menciptakan ratusan ribu lapangan kerja baru. Ia juga menyebutkan bahwa hingga saat ini terdapat 5.800 dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 38 provinsi. “MBG telah menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di dapur-dapur,” ujar Prabowo.

Selain itu, Presiden juga memperingatkan para jenderal maupun mantan jenderal yang menjadi beking pengusaha tambang ilegal. Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk mengabaikan tindakan terhadap jenderal dari TNI atau Polri yang terlibat dalam aktivitas ilegal. “Kami akan bertindak atas nama rakyat,” katanya.

Prabowo juga mengklaim berhasil menyelamatkan Rp 300 triliun uang APBN yang rawan diselewengkan. Ia menjelaskan bahwa penyelewengan sering terjadi dalam perjalanan dinas luar dan dalam negeri, anggaran pengadaan alat tulis kantor (ATK), serta berbagai mata anggaran lain yang selama ini menjadi sumber korupsi dan bancakan.

Kritik dari Berbagai Lembaga Terhadap Pidato Prabowo

Pidato Presiden Prabowo mendapat berbagai tanggapan dari berbagai lembaga dan organisasi. Salah satunya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), yang mengkritik isi pidato tersebut. Menurut ICW, pernyataan Presiden tentang komitmen memberantas korupsi justru bertolak belakang dengan situasi nyata. Koordinator Divisi Edukasi Publik ICW Nisa Zonzoa menyatakan bahwa hingga hari ini, koruptor masih menguasai negara, masyarakat semakin terpinggirkan, dan penegakan hukum dipertaruhkan demi kepentingan elite politik.

ICW juga menyoroti tindakan pemerintah yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah pemberian abolisi dan amnesti kepada terdakwa korupsi Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong pada 31 Juli lalu. Menurut Staf Divisi Edukasi Publik ICW Eva Nurcahyani, pemberian amnesti dan abolisi sebelum proses hukum inkrah dapat dilihat sebagai intervensi politik yang berbahaya.

Selain itu, ICW mencatat bahwa vonis pengadilan terhadap koruptor selama sembilan tahun terakhir rata-rata hanya 3 tahun 7 bulan. Dari 2015 hingga 2023, ada 682 terdakwa yang divonis bebas atau lepas, dengan total kerugian negara mencapai Rp 92 triliun.

Kritik dari Amnesty International dan YLBHI

Amnesty International Indonesia menilai pidato Prabowo tidak sejalan dengan kondisi hak asasi manusia (HAM) di lapangan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa situasi HAM di Indonesia bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Presiden.

Usman menyoroti konflik agraria di sektor perkebunan sawit dan tambang yang belum terselesaikan. Ia khawatir dengan risiko pelanggaran HAM baru jika pemberantasan mafia sumber daya alam tidak dijalankan secara independen. Ia juga menekankan perlunya reformasi kelembagaan, termasuk pada militer dan kepolisian.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mengkritik pidato Prabowo yang sama sekali tidak menyinggung HAM. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyatakan bahwa tidak ada satu kata pun diucapkan selama satu jam tentang hak asasi manusia. Ia juga menyoroti bahwa pidato Prabowo justru menyatakan geopolitik yang semakin tidak menentu membuat Indonesia harus punya pertahanan yang kuat.

Kritik dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengapresiasi upaya Prabowo memajukan sektor pendidikan, tetapi menilai banyak klaim keberhasilan yang disampaikan tidak sejalan dengan fakta di lapangan. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menyebutkan bahwa pidato Presiden sarat overclaim dan mengabaikan data resmi.

Salah satu klaim yang disorot adalah pernyataan bahwa rakyat kecil kini tidak lagi takut anaknya putus sekolah. Menurut JPPI, data Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah per Agustus 2025 justru menunjukkan jumlah anak tidak sekolah (ATS) meningkat menjadi 3,9 juta, naik 400 ribu anak dibanding Desember 2024.

JPPI juga mengkritik Kepala Negara yang tidak menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi tentang sekolah gratis bagi semua anak di maktab negeri maupun swasta. Menurut Ubaid, putusan itu adalah solusi konkret untuk mengatasi mahalnya biaya sekolah, tetapi tidak menjadi prioritas Presiden.

Kesimpulan

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR serta DPD menjadi sorotan berbagai kalangan. Meskipun terdapat klaim keberhasilan dari pihak pemerintah, kritik dari berbagai lembaga seperti ICW, Amnesty International, YLBHI, dan JPPI menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pernyataan dan realitas di lapangan. Hal ini memicu diskusi mengenai transparansi, akuntabilitas, serta kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.