
Profil dan Pendidikan Alexandr Wang
Alexandr Wang lahir pada Januari 1997 di Los Alamos, New Mexico, Amerika Serikat. Ia adalah putra dari pasangan imigran Tiongkok yang bekerja sebagai fisikawan di Los Alamos National Laboratory, sebuah pusat riset nuklir terkenal di AS. Lingkungan keluarga yang penuh dengan dunia ilmiah membuat Wang terbiasa dengan logika, eksperimen, dan rasa ingin tahu sejak kecil.
Sejak usia sekolah menengah, ia sudah menunjukkan kecemerlangan di bidang akademik. Ia menjadi finalis Olimpiade Komputasi Amerika Serikat (USACO) pada 2012 dan 2013, lolos ke program Olimpiade Matematika pada 2013, serta bergabung dengan Tim Fisika AS pada 2014. Setelah menamatkan pendidikan di Los Alamos High School, Wang melanjutkan studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) jurusan ilmu komputer. Namun, ia hanya bertahan satu tahun karena memutuskan keluar untuk fokus membangun perusahaannya sendiri.
Perjalanan Karier dan Bisnis
Perjalanan profesional Wang dimulai sejak remaja. Ia sempat bekerja sebagai programmer di Quora, kemudian bergabung dengan Addepar—perusahaan manajemen kekayaan berbasis teknologi—serta menjadi pengembang algoritma di Hudson River Trading, sebuah firma perdagangan frekuensi tinggi. Pengalaman ini memperkaya pemahamannya mengenai industri teknologi sekaligus membuka jaringan yang kelak berharga bagi kariernya.
Pada 2016, di usia 19 tahun, Wang bersama Lucy Guo mendirikan Scale AI lewat program akselerator Y Combinator. Scale AI hadir sebagai jawaban atas tantangan utama dalam pengembangan AI: ketersediaan data berlabel berkualitas tinggi. Layanan mereka membantu perusahaan besar dan institusi pemerintah melatih model AI dengan lebih efektif. Tak butuh waktu lama, Scale AI berhasil menarik klien besar, mulai dari General Motors, Flexport, hingga Departemen Pertahanan AS.
Kekayaan dan Pencapaian Alexandr Wang
Keberhasilan Scale AI membawa Wang menjadi miliarder termuda di dunia pada usia 24 tahun. Saat itu, valuasi perusahaannya mencapai USD 7,3 miliar (Rp119,79 triliun), dengan kepemilikan saham pribadi sebesar 15 persen. Kekayaannya terus melonjak seiring pesatnya perkembangan bisnis, hingga diperkirakan oleh berbagai sumber bahwa nilai kekayaannya mencapai USD 3,5–3,6 miliar atau sekitar Rp58–59 triliun.
Tak hanya kekayaan, Wang juga mengantongi beragam penghargaan bergengsi. Ia dua kali masuk daftar Forbes 30 Under 30 untuk kategori teknologi, serta dinobatkan sebagai bagian dari TIME 100 Next dan TIME 100 AI, yang menyoroti pemimpin muda paling berpengaruh di bidangnya. Julukan “The Next Elon Musk” pun sempat disematkan kepadanya, mencerminkan ekspektasi besar publik atas peran Wang dalam membentuk masa depan teknologi.
Peran Baru Alexandr Wang di Meta
Tahun 2025 menjadi babak baru bagi Wang. Meta, salah satu klien terbesar Scale AI, resmi mengakuisisi 49% saham perusahaan tersebut senilai USD 14,3 miliar (Rp234,68 triliun). Dalam perjanjian itu, Wang setuju melepas jabatan CEO dan bergabung dengan Meta sebagai Chief AI Officer. Ia kini memimpin divisi AI superintelligence, sebuah langkah strategis Meta untuk bersaing dalam “perlombaan AI” global.
Meski tidak lagi memegang kendali penuh di Scale AI, Wang tetap duduk di dewan direksi perusahaan yang ia dirikan. Kehadirannya di Meta menegaskan pengaruhnya bukan hanya sebagai pendiri startup sukses, tetapi juga sebagai arsitek utama dalam pengembangan teknologi AI yang lebih besar dan kompleks di kancah internasional.
Visi Alexandr Wang untuk Gen Z di Era AI
Selain kiprahnya di dunia bisnis, Wang juga dikenal lantang menyuarakan gagasan visioner tentang masa depan teknologi dan generasi muda. Dalam wawancara terbaru dengan Fortune serta beberapa forum internasional, ia menekankan pentingnya Gen Z untuk berani terjun langsung ke dunia pemrograman berbasis kecerdasan buatan. Menurutnya, generasi ini tidak perlu lagi terpaku pada metode lama yang menuntut hafalan sintaks rumit, melainkan bisa memanfaatkan AI sebagai “rekan kreatif” dalam mencipta.
Konsep yang ia perkenalkan disebut vibe coding. Dengan pendekatan ini, pemrograman bukan lagi sekadar menulis ribuan baris kode manual, melainkan berinteraksi kreatif dengan AI. Coder cukup memberikan ide atau instruksi, lalu membiarkan AI menghasilkan kode dasar, melakukan tes, dan menyempurnakannya.
“Kalau kamu berusia 13 tahun, habiskan waktumu untuk vibe coding. Dari situlah bakal lahir Bill Gates berikutnya,” tegas Wang. Bagi Wang, inilah momen “diskontinuitas” yang akan membedakan generasi masa depan. Seperti halnya Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg yang tumbuh di era awal komputer pribadi, Gen Z kini punya peluang serupa melalui AI. Mereka yang berani bereksperimen dan menghabiskan waktu mendalami tools berbasis AI akan memiliki keunggulan besar dalam ekonomi global yang sedang berubah cepat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!