
Rupiah Menghadapi Tekanan, Tren Pelemahan Dipengaruhi Kebijakan Moneter dan Faktor Eksternal
Rupiah kembali mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir, yang dianggap sebagai dampak dari kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) dan The Federal Reserve (The Fed). Pada Rabu (22/9) pukul 07.07 WIB, rupiah melemah sebesar 77 poin atau 0,46 persen menjadi Rp 16.687 per Dolar AS. Ini menunjukkan tren penurunan yang telah berlangsung sejak 14 Agustus 2025, ketika rupiah berada di level Rp 16.375 per Dolar AS.
Penyebab Pelemahan Rupiah
Menurut analis Panin Sekuritas, Felix Darmawan, pelemahan rupiah disebabkan oleh kebijakan pelonggaran moneter, termasuk penurunan suku bunga BI dan The Fed. Ia menjelaskan bahwa perbedaan suku bunga antara BI dan The Fed semakin sempit, sehingga menyebabkan aliran dana asing keluar dari pasar Indonesia. Meskipun demikian, Felix optimis bahwa pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam karena adanya faktor pendukung seperti cadangan devisa yang tinggi, ekspor komoditas yang stabil, serta intervensi BI di pasar valas dan DNDF.
Dalam jangka pendek, Felix memperkirakan nilai rupiah bisa melemah hingga kisaran Rp 16.200–Rp 16.700 per Dolar AS. Namun, ia menilai ada potensi stabilisasi yang besar pada kuartal IV jika The Fed mulai agresif dalam pemangkasan suku bunganya. Menurutnya, pelemahan saat ini lebih merupakan fase penyesuaian pasar daripada tren jangka panjang.
Peran Pergeseran Kebijakan dan Sentimen Pasar
Selain itu, perubahan menteri keuangan juga memberikan dampak terhadap sentimen pasar. Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya membuat pelaku pasar sedikit kecewa terhadap kebijakan yang diambil. Ibrahim Assuaibi, Direktur Laba Forexindo Berjangka, menilai bahwa meski proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh IMF meningkat dari 4,7% menjadi 4,8%, hal ini belum cukup untuk mendorong penguatan rupiah.
Ibrahim juga menyebut bahwa Bank Sentral Amerika kemungkinan akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam pertemuan Oktober. Ia memprediksi penurunan total hingga akhir tahun mencapai 50 basis poin. Namun, gejolak geopolitik di Eropa masih menjadi tantangan utama yang menghambat sentimen positif terhadap rupiah.
Perkembangan Terkini dan Peluang Penguatan
Myrdal Gunarto, Global Market Economist Maybank, menilai bahwa tren pelemahan rupiah telah mereda setelah arus masuk dana asing kembali ke pasar saham Indonesia. Meskipun demikian, ia melihat tekanan jual yang kuat dari investor global di pasar obligasi pemerintah. Investor tersebut menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan obligasi negara maju.
Di sisi lain, aktivitas perdagangan internasional mulai terasa pada September 2025. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan kenaikan tarif barang ekspor ke Amerika Serikat yang baru saja berlaku. Meski begitu, Indonesia masih mencatat surplus perdagangan sebesar USD 1,87 miliar per bulan.
Myrdal melihat peluang bagi rupiah untuk menguat terhadap USD, terutama setelah pemangkasan BI Rate yang akan memengaruhi pasar obligasi pemerintah. Ia memperkirakan level terdekat untuk nilai USD/IDR adalah Rp 16.513–16.746.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meski menghadapi tekanan dari berbagai sisi, rupiah tetap memiliki peluang untuk pulih jika kondisi makroekonomi dan kebijakan fiskal dapat diperbaiki. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa secara keseluruhan, nilai tukar rupiah tercatat menguat 0,30 persen pada September 2025 dibandingkan Agustus 2025. Hal ini menunjukkan bahwa meski ada tekanan, rupiah masih memiliki daya tahan yang cukup baik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!