Formappi Dukung Syarat S1 Anggota DPR Tingkatkan Kualitas Parlemen

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Parlemen

Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menilai bahwa aturan mengenai syarat minimal pendidikan bagi anggota DPR RI dan DPRD yang berupa gelar sarjana (S1) sangat penting diterapkan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas parlemen secara keseluruhan.

Pernyataan tersebut disampaikan Lucius saat merespons adanya uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pemilu. Intinya, para pemohon meminta agar syarat pendidikan bagi calon anggota legislatif ditingkatkan dari SMA menjadi S1. Dengan demikian, mereka berharap dapat mendorong peningkatan kualitas anggota parlemen.

1. Mengatasi Kemalasan Partai dalam Kaderisasi

Lucius menyebutkan bahwa jika partai politik bersedia bekerja keras dalam melakukan kaderisasi yang ketat, aturan tentang syarat pendidikan semacam ini tidak terlalu mendesak untuk diatur seperti yang sedang diperjuangkan dalam uji materi UU Pemilu. Namun, ia menilai bahwa syarat pendidikan S1 perlu diterapkan sebagai solusi untuk mengatasi kemalasan partai dalam proses kaderisasi.

"Bagi saya, untuk mengisi kemalasan parpol dalam melakukan kaderisasi, pengetatan syarat usia maupun pendidikan calon legislatif penting dilakukan," tegas Lucius.

2. Tidak Otomatis Meningkatkan Kualitas Kebijakan

Meski menaikkan syarat pendidikan bisa menjadi langkah positif, Lucius juga menekankan bahwa hal ini tidak otomatis akan meningkatkan kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh legislator. Banyak faktor lain yang memengaruhi kualitas kebijakan, termasuk kepentingan pribadi dan masalah oligarki dalam partai politik.

Namun, meskipun tidak langsung memperbaiki seluruh aspek, pengaturan syarat pendidikan tetap menjadi upaya awal untuk mendorong perbaikan kualitas parlemen di masa depan.

3. Gugatan terhadap UU Pemilu di MK

Sebelumnya, syarat pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD digugat ke MK. Gugatan ini diajukan oleh Nanda Yuniza Eviani dan Muhammad Rafli Nur Rahman sebagai perseorangan. Mereka merasa hak konstitusionalnya terganggu karena syarat pendidikan yang rendah dinilai tidak sejalan dengan kewenangan lembaga legislatif.

Pasal 240 Ayat 1 huruf e UU Pemilu menyebutkan bahwa calon anggota DPR/DPRD harus memiliki pendidikan paling rendah tamat SMA atau sederajat. Namun, para pemohon meminta agar syarat ini diubah menjadi S1.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, para pemohon menyatakan bahwa norma yang hanya mensyaratkan pendidikan SMA tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif. Syarat pendidikan yang terlalu rendah dinilai tidak menjamin kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai.

Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.

4. Keresahan Akibat Produk Legislasi yang Bermasalah

Para pemohon merasa keresahan akibat maraknya produk legislasi DPR/DPRD yang bermasalah dan sering dibatalkan oleh MK. Kondisi ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan bukti nyata bahwa rakyat dipaksa hidup di bawah bayang-bayang undang-undang yang rapuh, tidak konsisten, dan gagal memberikan perlindungan.

Hal ini berdampak pada hak-hak dasar yang dijamin UUD 1945, seperti hak atas pendidikan yang layak, kesehatan yang terjangkau, lingkungan hidup yang baik, dan kesejahteraan sosial yang adil. Norma Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu, yang hanya mensyaratkan pendidikan minimal SMA, menjadi pangkal persoalan dalam turunnya standar parlemen.

Untuk itu, para pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai "berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat".