
Indonesia sebagai Pusat Investasi Hijau Tiongkok
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling diminati dalam rangka investasi hijau dari Tiongkok. Khususnya di sektor nikel, prekursor, dan manufaktur panel surya, negara ini menunjukkan potensi besar dalam memenuhi kebutuhan global akan sumber daya dan teknologi ramah lingkungan.
Menurut Co-Director Net Zero Industrial Policy Lab Johns Hopkins, Tim Sahay, database China Low-Carbon Technology Foreign Direct Investment menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau. Hingga saat ini, perusahaan Tiongkok telah mengucurkan dana hampir US$250 miliar atau setara dengan Rp4.169 triliun (Rp16.680/US$) untuk proyek manufaktur hijau global.
Namun, apakah proyek industri hijau ini benar-benar membawa dampak positif bagi pembangunan atau hanya menjadikan negara tuan rumah sebagai "pulau manufaktur", tergantung pada kebijakan domestik yang diterapkan oleh masing-masing negara.
Negara-negara ASEAN menjadi tuan rumah bagi proyek hijau terbanyak, meskipun aliran modal ke kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat lebih dari 20%. Negara seperti Malaysia, Brasil, Hungaria, dan Indonesia tetap menjadi target utama investasi dari Tiongkok.
Sumber Daya Alami Indonesia yang Menarik Perhatian
Dengan cadangan nikel dan kobalt yang melimpah, Indonesia menjadi pusat produsen material baterai. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Huayou Cobalt, CNGR, dan GEM telah membangun operasinya di Indonesia. Manufaktur material baterai merupakan salah satu sektor terbesar dalam belanja teknologi hijau luar negeri Tiongkok.
Dalam proyek 2025, nilai komitmen yang diumumkan melebihi US$62 miliar (Rp1.034 triliun). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Indonesia dalam rantai pasok global yang dipimpin oleh Tiongkok.
Laporan Net Zero Industry Policy Lab mengingatkan negara-negara untuk memanfaatkan keunggulan sumber daya mereka. Negara dengan mineral kritis dan energi terbarukan melimpah, atau pasar konsumen besar, dapat menempatkan diri pada rantai pasok yang berpusat di Tiongkok. Namun, mereka harus memastikan adanya transfer teknologi, perlindungan lingkungan, serta klausul penambahan nilai lokal.
Masalah yang Muncul Akibat Investasi Tiongkok
Meski ada potensi besar, investasi Tiongkok di Indonesia juga tidak lepas dari masalah. Selama periode 2015-2023, Trend Asia mencatat sebanyak 93 kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia. Salah satunya adalah 21 korban jiwa di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel.
Selain itu, PT Indonesia Huabao Industrial Park dilaporkan menyebabkan pencemaran udara akibat penggunaan PLTU captive. Akibatnya, terjadi lonjakan kasus ISPA, dari 735 kasus pada 2021 menjadi lebih dari 1.100 kasus pada 2023.
Naomi Devi Larasati, Policy Strategist CERAH, menyoroti pentingnya memastikan bahwa investasi Tiongkok benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya di sekitar lokasi industri. Bukan hanya keuntungan ekonomi bagi pemerintah pusat, tetapi juga alih teknologi dan keterampilan, kepatuhan perusahaan terhadap standar environmental, social, and governance (ESG), serta penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Investasi hijau dari Tiongkok memiliki potensi besar untuk mendukung transformasi energi dan pengurangan emisi karbon. Namun, hal ini harus disertai dengan regulasi yang ketat dan transparansi agar tidak terjadi eksploitasi sumber daya dan kerusakan lingkungan.
Indonesia perlu memperkuat kebijakan dan regulasi terkait investasi asing, terutama di sektor strategis seperti nikel dan baterai. Dengan demikian, negara ini bisa memaksimalkan manfaat dari investasi hijau tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!