
Isolasi Global yang Menghimpit Israel
Israel kini menghadapi isolasi global yang semakin dalam. Penindasan dan kecaman internasional terhadap agresi militer negara tersebut di Gaza telah meningkat tajam. Konflik yang terus memburuk sejak Oktober 2023 memberikan dampak yang luas, mencakup berbagai aspek seperti politik, keamanan, ekonomi, budaya hingga olahraga.
Dunia yang sebelumnya terbagi dalam menyikapi konflik Israel-Palestina kini menunjukkan konsistensi baru: ketidaksetujuan terhadap kekerasan yang berkepanjangan serta penderitaan warga sipil di wilayah Gaza. Agresi besar-besaran yang dilancarkan Israel sejak Oktober 2023 telah menyebabkan ribuan korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak.
Krisis kemanusiaan yang semakin parah di Gaza memicu gelombang protes global. Hal ini memaksa banyak negara untuk meninjau ulang hubungan mereka dengan Israel. Kecaman terhadap negara tersebut meningkat setelah pasukan IDF meluncurkan serangan darat di Kota Gaza dan menggempur infrastruktur yang diklaim sebagai milik Hamas.
Pekan lalu, laporan investigasi independen PBB menyatakan bahwa Israel melakukan tindakan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Tuduhan berat ini juga diamini oleh berbagai kelompok hak asasi manusia dan pakar hukum internasional. Meski ditolak oleh pemerintah Israel, laporan ini memperkuat posisi moral negara-negara yang selama ini mengecam agresi di Gaza.
Sanksi Ekonomi dan Tekanan Dagang
Dampak nyata dari krisis ini mulai dirasakan di sektor ekonomi. Uni Eropa, mitra dagang terbesar Israel, mengusulkan penangguhan sebagian perjanjian perdagangan bebas sebagai bentuk tekanan. Beberapa negara Eropa seperti Prancis, Belanda, Spanyol, dan Inggris juga menjatuhkan sanksi terhadap individu serta organisasi Israel yang terlibat dalam kekerasan di Tepi Barat.
Pada bulan Agustus, Norway Sovereign Wealth Fund, dana kekayaan negara terbesar di dunia, mengumumkan divestasi dari portofolio Israel akibat memburuknya kondisi kemanusiaan. Hal ini menjadi sinyal bahwa bahkan lembaga keuangan pun mulai menjauh dari Israel.
Selain itu, Israel juga menghadapi embargo senjata sebagian atau penuh dari sejumlah negara. Hal ini memaksa pemerintahan Netanyahu untuk mempertimbangkan penguatan industri pertahanan domestik dan mengurangi ketergantungan pada kerja sama militer luar negeri.
Dunia Budaya dan Hiburan Juga Menutup Pintu
Di dunia hiburan, boikot terhadap Israel makin luas. Penyelenggara Eurovision di Irlandia, Belanda, dan Spanyol menyatakan tidak akan berpartisipasi jika Israel tetap diizinkan tampil pada 2026. Mereka menilai keikutsertaan Israel tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam ajang tersebut.
Festival musik Internasional di Belgia bahkan membatalkan konser Munich Philharmonic karena direncanakan dipimpin oleh konduktor Israel, Lahav Shani. Meskipun Shani dikenal vokal mendukung perdamaian, penyelenggara mengaku tidak yakin akan sikapnya terhadap tindakan Israel di Gaza.
Sementara itu, Hollywood juga ikut bersuara. Ribuan insan perfilman, termasuk bintang seperti Emma Stone, Andrew Garfield, dan Olivia Colman, menandatangani pernyataan boikot terhadap institusi film Israel yang dianggap terlibat dalam praktik genosida dan apartheid.
Dunia Olahraga Juga Bersikap
Isolasi Israel juga menyentuh dunia olahraga. Tahap akhir balap sepeda internasional dibatalkan setelah protes besar-besaran atas keikutsertaan tim Israel-Premier Tech. Di Spanyol, para pemain catur Israel dilarang bertanding dengan membawa bendera nasional, menyebabkan mereka mundur dari turnamen.
UEFA disebut sedang mempertimbangkan kemungkinan mengeluarkan Israel dari kompetisi sepak bola Eropa, meskipun belum ada keputusan final. Kekhawatiran ini sempat disinggung oleh Menteri Kebudayaan dan Olahraga Israel, Miki Zohar, yang menyatakan bahwa pemerintah bekerja keras mencegah pengusiran tersebut.
Walk Out Massal saat Netanyahu Pidato di Sidang PBB
Isolasi Israel semakin terlihat ketika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hadir di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, pada 26 September 2025, untuk menyampaikan pidato penting. Namun, kunjungannya dibayangi tekanan besar. Netanyahu bahkan harus menempuh rute penerbangan memutar, menghindari wilayah udara beberapa negara Eropa yang merupakan anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC), untuk bisa tiba di Amerika Serikat.
Langkah ini menunjukkan tingginya risiko hukum internasional yang kini dihadapi oleh pemimpin Israel. Dalam suasana diplomatik yang tegang, Netanyahu dijadwalkan berpidato pukul 14.00 BST (09.00 waktu New York), dan pidatonya bahkan disebut disiarkan langsung ke perbatasan Gaza melalui pengeras suara.
Namun, momen tersebut berubah menjadi simbol isolasi ketika puluhan delegasi bangkit dan meninggalkan ruangan secara demonstratif saat Netanyahu mulai berbicara. Meski sebagian hadirin bertepuk tangan, ketua sidang harus beberapa kali meminta ketertiban sambil memukul palu, menyatakan, “Silakan tertib di aula.” Aksi walk out itu dipandang sebagai protes diplomatik keras terhadap kebijakan militer Israel yang telah menimbulkan krisis kemanusiaan parah.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!