
Penyelidikan Korupsi di BPKAD Buol Memperluas Ruang Lingkup
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah sedang memperluas penyelidikan terhadap dugaan korupsi yang melibatkan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Buol. Kasus ini menimbulkan perhatian luas karena menyentuh institusi penting yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah. Kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 13,3 miliar membuat isu ini menjadi sorotan publik.
Hingga akhir September, proses penyelidikan masih berada pada tahap awal. Jaksa belum membuka detail kasus, tetapi mengonfirmasi bahwa pemanggilan saksi dan permintaan data terus berjalan. Kasi Penkum Kejati Sulteng, Laode Abdul Sofyan, menjelaskan bahwa proses permintaan data dan keterangan masih berlangsung, serta pemanggilan pihak terkait akan dilakukan lebih lanjut.
Beberapa pejabat aktif maupun mantan pejabat BPKAD telah dipanggil sejak awal bulan. Pada 4 September, tiga pejabat termasuk Plt Kepala BPKAD WHS dimintai keterangan. Beberapa hari kemudian, mantan Kepala BPKAD MSP dan mantan sekretarisnya SHD juga diperiksa. Pada 10 September, giliran dua pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) periode 2023–2025 yang dihadirkan penyidik.
Dugaan kerugian negara senilai Rp 13,3 miliar menambah daftar panjang masalah tata kelola anggaran di daerah. Kasus ini terungkap setelah Kejati sebelumnya berhasil menyelamatkan Rp 4,8 miliar dari kasus serupa di kabupaten lain. Publik kini mulai mempertanyakan apakah pola penyimpangan tersebut bersifat sistematis.
Bagi warga Buol, isu ini tidak hanya tentang angka, tetapi juga tentang kepercayaan terhadap aparat. Johny Hatimura, tokoh masyarakat setempat, menyampaikan keraguan publik terhadap komitmen penegak hukum dalam menuntaskan kasus besar. “Saya belum sepenuhnya percaya dengan keseriusan aparat. Masih ada kesan lama yang belum hilang,” ujarnya.
Salah satu yang menarik perhatian penyidik adalah hubungan BPKAD dengan sejumlah penyedia jasa lokal, termasuk rumah makan di Buol yang sering menangani pesanan konsumsi. Pemilik rumah makan yang enggan disebutkan namanya membantah tudingan soal penerbitan nota kosong. “Kami hanya melayani sesuai pesanan, tidak pernah ada faktur kosong,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Meski demikian, ia mengakui sudah mendapat surat panggilan resmi dari Kejati untuk memberikan keterangan lebih lanjut. “Prinsipnya saya siap datang, tapi tentu butuh biaya transportasi ke Palu. Kalau itu ditanggung, saya akan hadir,” katanya. Pernyataan ini menunjukkan kompleksitas penyidikan yang tidak hanya menyentuh pejabat, tetapi juga mitra lokal.
Kasus Buol juga menyingkap persoalan lebih besar: lemahnya kontrol internal pemerintah daerah dalam mengawasi arus anggaran publik. Transparansi dan integritas yang diharapkan justru terguncang ketika lembaga pengelola keuangan diduga terlibat praktik koruptif.
Pertanyaan yang menggantung adalah apakah penyimpangan ini sekadar kelemahan administratif atau sebuah skema sistematis yang melibatkan lebih banyak pihak di lingkaran birokrasi. Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah kasus Buol hanya berakhir sebagai episode singkat atau momentum besar bagi reformasi pengelolaan anggaran daerah.
Bagi Kejati Sulteng, tantangan terbesarnya bukan hanya membuktikan adanya kerugian negara, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik. Jika kasus ini dituntaskan dengan transparan, ia bisa menjadi titik balik untuk memperkuat akuntabilitas di Sulawesi Tengah. Jika tidak, ia akan menambah daftar panjang perkara korupsi yang hilang tanpa jejak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!