Kerinci: Keributan Penolakan PLTA, Warga Tantang Perhitungan Ganti Rugi Rp5 Miliar

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Penolakan Masyarakat terhadap Pembangunan PLTA di Kerinci

Masyarakat dari Desa Pulau Pandan dan Desa Karang Pandan, yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dikelola oleh PT Kerinci Merangin Hidro. Penolakan ini muncul karena adanya kejanggalan dalam proses ganti rugi yang dinilai tidak transparan.

Salah satu warga Desa Pulau Pandan mengungkapkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat setelah penutupan permanen Sungai Tanjung Merindu. "Sungai Tanjung Merindu saat ini mengering, ini berdampak pada sawah warga yang ikut mengering, dan nelayan yang tidak lagi bisa mencari ikan," ujar warga tersebut saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Warga menegaskan bahwa kompensasi atas gangguan terhadap mata pencaharian masyarakat sangat penting. "Ini bukan cuma masalah uang, tapi kehidupan anak cucu kami ke depannya itu intinya," tambahnya. Ia juga menyebutkan bahwa Sungai Tanjung Merindu merupakan warisan nenek moyang yang menjadi sumber kehidupan bagi warga.

Sebelum proyek PLTA dimulai, warga bermusyawarah dan sepakat bahwa negosiasi soal ganti rugi harus dihadiri oleh Orang Empat Jenis, yaitu Pemerintah Desa, Ketua Adat, Alim Ulama, dan Karang Taruna. "Dulu sudah ada pertemuan, dan kita sepakat soal kompensasi ini harus dihadiri dan disepakati oleh Orang Empat Jenis," jelas warga tersebut.

Warga Tidak Dilibatkan dalam Pertemuan

Namun, dua hari setelah pertemuan, Kepala Desa Pulau Pandan dan Kepala Desa Karang Pandan menemui pihak perusahaan tanpa memberitahu warga. "Mereka menemui PLTA secara diam-diam," ujarnya. Setelah pertemuan tersebut, Kepala Desa mengumumkan bahwa PLTA telah menyanggupi ganti rugi untuk warga dua desa senilai Rp5 miliar, yang menyebabkan kebingungan di kalangan warga.

Warga merasa bahwa pembagian Rp5 miliar tersebut tidak adil dan menimbulkan kejanggalan. "Asumsinya Rp5 miliar dibagi ke dua desa, jadi per-KK dapat Rp5 juta. Data dari Pemdes dan Tim Terpadu menyebutkan yang menerima nominal itu sebanyak 607 KK, dan yang menolak 510 KK," tambahnya. Ia menekankan bahwa jumlah KK yang menerima dan menolak mencapai 1.117 KK, sementara jumlah KK di dua desa hanya 937 KK, menimbulkan pertanyaan mengenai sisa KK yang tidak terdata.

Kecurigaan warga semakin meningkat karena tidak adanya keterbukaan data mengenai penerima ganti rugi. "Ada info yang kita dapat, satu orang bisa bawa 10-11 KK untuk pencarian yang Rp5 juta. Maka kita tantang untuk buka-bukaan data, mana yang menerima, warga asli Pulau Pandan dan Karang Pandan tidak? Masih hidup tidak?" terangnya.

Tanggapan Bupati Kerinci

Bupati Kerinci, Monadi, merespons penolakan warga. Ia mengatakan, masalah ini muncul karena ketidakpuasan terhadap ganti rugi yang ditawarkan. "Mereka tak terima ganti rugi Rp5 juta, tetapi meminta Rp300 juta per-KK, tetapi pihak perusahaan tidak menyanggupi," kata Monadi saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Hingga saat ini, jumlah KK yang telah mengambil ganti rugi Rp5 juta baru mencapai 625 KK, dengan rincian 279 KK dari Pulau Pandan dan 346 KK dari Karang Pandan. Masalah ini telah dirumuskan bersama dengan Tim Terpadu yang terdiri dari Pemerintah Daerah, Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan, namun belum menemukan titik temu.

"Ini obyek vital nasional, dan kita putuskan pembukaan pintu air untuk PLTA, kemudian yang tidak terima ganti rugi Rp5 juta demo, dan terjadi bentrokan," jelas Monadi.