
Seruan Global untuk Menetapkan Batas Etis dalam Penggunaan Kecerdasan Buatan
Lebih dari 200 tokoh ternama, termasuk mantan pemimpin negara, diplomat, ilmuwan pemenang Nobel, hingga pemimpin perusahaan teknologi, mengajukan seruan penting terkait perlunya kesepakatan internasional yang menetapkan batas atau red lines dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI). Inisiatif ini dikenal sebagai "Global Call for AI Red Lines", yang menekankan pentingnya adanya kesepakatan global tentang etika dan keamanan AI paling lambat pada akhir tahun 2026.
Beberapa aturan yang diusulkan meliputi larangan penggunaan AI untuk meniru manusia atau kemampuan mereplikasi diri. Para penandatangan inisiatif ini mencakup tokoh-tokoh berpengaruh seperti ilmuwan komputer Geoffrey Hinton, salah satu pendiri OpenAI Wojciech Zaremba, CISO Anthropic Jason Clinton, serta ilmuwan riset Google DeepMind Ilya Sutskever dan Ian Goodfellow.
Direktur Eksekutif French Center for AI Safety (CeSIA), Charbel-Raphael Segerie, menjelaskan bahwa tujuan utama dari inisiatif ini adalah untuk mencegah risiko besar sebelum terjadi, bukan hanya bereaksi setelah bencana terjadi. Ia menegaskan bahwa jika negara-negara belum bisa sepakat mengenai apa yang ingin mereka capai melalui AI, setidaknya mereka harus sepakat mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh AI.
Inisiatif ini juga didukung oleh lebih dari 70 organisasi global yang fokus pada etika dan keamanan teknologi, seperti CeSIA, The Future Society, dan Center for Human-Compatible Artificial Intelligence dari UC Berkeley.
Tindakan yang Sudah Dilakukan Beberapa Wilayah
Seruan ini muncul menjelang Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York. Maria Ressa, peraih Nobel Perdamaian asal Filipina, menyampaikan pentingnya inisiatif ini dalam pidato pembukaannya. Ia menyerukan perlunya mengakhiri impunitas Big Tech melalui akuntabilitas global.
Beberapa wilayah telah mengambil langkah-langkah awal. Misalnya, Uni Eropa melalui AI Act melarang penggunaan AI dalam konteks yang tidak dapat diterima. Di sisi lain, AS dan Tiongkok sepakat memastikan bahwa senjata nuklir tetap berada di bawah kendali manusia, bukan AI. Namun, hingga saat ini belum ada konsensus global yang menyeluruh terkait batasan penggunaan AI.
Perlu Lembaga Internasional yang Independen
Direktur Tata Kelola Global AI dari The Future Society, Niki Iliadis, menilai bahwa kebijakan sukarela yang dibuat oleh perusahaan teknologi tidak cukup. Menurutnya, dunia memerlukan lembaga internasional independen yang memiliki kewenangan untuk menetapkan, memantau, dan menegakkan red line AI.
Profesor ilmu komputer dari UC Berkeley dan salah satu peneliti AI terkemuka dunia, Stuart Russell, menegaskan bahwa seruan ini tidak bermaksud menghalangi pengembangan ekonomi dan inovasi. "Namun, perusahaan harus bersedia tidak membangun AGI (Artificial General Intelligence) sampai mereka tahu bagaimana cara memastikan keamanannya," ujar Russell.
Kesimpulan
Dalam era di mana AI semakin berkembang pesat, penting bagi dunia untuk segera menetapkan batas-batas etis dan keamanan yang jelas. Inisiatif "Global Call for AI Red Lines" menjadi langkah penting menuju pengaturan global yang lebih transparan dan aman. Dengan partisipasi para tokoh ternama dan dukungan dari organisasi global, harapan besar diarahkan agar AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!