
Kebijakan Penggunaan Sirene dan Strobo yang Dianggap Tepat
Kebijakan yang diambil oleh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dalam membekukan penggunaan sirene dan strobo sementara waktu, dinilai telah tepat dalam menjaga stabilitas masyarakat. Pendapat ini disampaikan oleh Akademisi Kebijakan Publik Universitas Lampung, Sigit Krisbintoro.
Menurut Sigit, penggunaan alat seperti sirene dan strobo tidak hanya bisa menciptakan kegaduhan, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial dan politik. Ia menegaskan bahwa penggunaan alat tersebut, baik oleh pejabat maupun masyarakat umum, harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak menimbulkan efek negatif.
Sirene adalah perangkat suara yang digunakan sebagai tanda bahaya atau darurat, sedangkan strobo adalah lampu berkedip-kedip yang biasanya digunakan untuk memberi tanda darurat pada kendaraan. Pemakaian kedua alat ini sering kali terjadi di luar konteks darurat, sehingga menimbulkan kesan tidak adil.
Sigit menyatakan bahwa tindakan untuk mengevaluasi dan melarang penggunaan sirene dan strobo, serta menindak tegas pelanggaran sesuai aturan yang berlaku, merupakan langkah yang tepat. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan sosial dan menghindari konflik antar kelompok masyarakat.
Ia menyoroti bahwa perlakuan khusus terhadap sebagian masyarakat, terutama para pejabat dan kalangan kaya, dengan menggunakan sirene dan strobo, dinilai tidak peduli terhadap rakyat kecil. Perilaku ini dapat memicu gejolak di tengah masyarakat yang sedang menghadapi berbagai tantangan ekonomi dan psikologis.
Pengawalan pejabat dengan sirene dan strobo, serta mobil masyarakat yang menggunakan strobo, dapat menciptakan ketegangan sosial. Menurut Sigit, hal ini sangat berisiko karena kondisi masyarakat saat ini sangat rentan terhadap pergeseran sosial dan politik.
Ia menekankan bahwa kesenjangan sosial dan ekonomi, serta beban psikologis yang dialami masyarakat, bisa memicu ketidakstabilan jika ada pihak tertentu yang diberi perlakuan istimewa. Oleh karena itu, kebijakan Korlantas Polri yang membekukan penggunaan sirene dan strobo dianggap sebagai langkah yang bijak.
Sigit menyarankan agar penggunaan sirene dan strobo hanya dibatasi untuk keperluan vital dan mendesak, seperti operasi darurat atau kepentingan umum. Ia menekankan bahwa para pejabat seharusnya merasa dekat dengan rakyat dan memahami kondisi mereka. Tugas utama mereka adalah melayani, bukan ingin dihormati.
Selain itu, ia berpendapat bahwa masyarakat seharusnya menjadi pusat perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bukan sebaliknya, pemerintahan justru menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara pemerintah dan rakyat akan lebih harmonis dan saling mendukung.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan Korlantas Polri ini juga didukung oleh beberapa pihak yang menganggap penting untuk menegakkan aturan secara adil. Kepala Korlantas Polri, Irjen Agus Suryonugroho, telah menyatakan bahwa penggunaan strobo dan sirene untuk pengawalan akan dihentikan sementara waktu. Pihaknya kini sedang melakukan evaluasi terkait penggunaan alat tersebut agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 135, hak penggunaan strobo hanya diberikan kepada kendaraan pemadam kebakaran, pimpinan lembaga negara dan tamu negara atau pejabat asing, ambulans, mobil jenazah, konvoi untuk kepentingan tertentu, serta kendaraan penolong kecelakaan. Dengan demikian, penggunaan strobo dan sirene harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Keputusan Korlantas Polri ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih tenang dan adil bagi seluruh masyarakat. Dengan pembatasan penggunaan alat-alat tersebut, diharapkan dapat mengurangi potensi konflik dan meningkatkan rasa keadilan dalam masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!