Prabowo, Jangan Jadi Tameng Kekuasaan Jokowi-Gibran: Waspadai Bahaya Dinasti

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Peran Jokowi dalam Mengarahkan Duet Prabowo-Gibran

Dalam suasana politik yang masih memanas pasca-pemilu, pernyataan mantan Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan. Pada pertemuan dengan relawannya pada 22 September 2025, Jokowi secara terbuka menyarankan para pendukungnya untuk mendukung keberlanjutan duet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka hingga periode kedua pada 2029. Tindakan ini dianggap oleh pengamat politik senior M. Rizal Fadillah sebagai langkah strategis yang bertujuan mempertahankan pengaruh dinasti keluarga Jokowi di panggung kekuasaan.

Fadillah menegaskan bahwa Prabowo harus segera melepaskan diri dari ikatan ini agar tidak terperangkap dalam situasi yang bisa meruntuhkan kredibilitasnya sebagai pemimpin. Ia memperingatkan bahwa tanpa tindakan tegas, Prabowo berisiko menjadi “ayam sayur” yang terikat kakinya, tidak mampu bergerak bebas demi kepentingan rakyat sementara Jokowi dan Gibran terus menari di atas konstitusi yang telah mereka dobrak. Pertanyaan mendasar muncul: apakah demokrasi Indonesia masih milik rakyat atau sudah menjadi warisan keluarga tertentu?

Instruksi Jokowi: Dukungan atau Jebakan Kekuasaan?

Pernyataan Jokowi yang memerintahkan relawannya untuk “mengawal dan menyukseskan” pemerintahan Prabowo-Gibran, sekaligus mendorong mereka maju lagi di 2029, bukanlah hal yang muncul tanpa konteks. Menurut M. Rizal Fadillah, ini adalah langkah terencana untuk memastikan Gibran, putra sulung Jokowi, tetap berada di lingkaran kekuasaan. Di saat pemerintahan Prabowo baru berjalan beberapa bulan, fokus seharusnya tertuju pada perbaikan warisan ekonomi bermasalah seperti utang negara yang melonjak hingga Rp8.000 triliun dan ketimpangan sosial yang kian mencolok. Namun, Jokowi justru tampak berusaha memperpanjang bayang-bayang kekuasaannya.

Tanggapan politik pun beragam—Ketua DPR Puan Maharani menyebut pemilu 2029 masih jauh, sementara Wakil Ketua Umum NasDem Saan Mustopa menegaskan bahwa prioritas saat ini adalah program Kabinet Merah Putih, bukan ambisi politik jangka panjang.

Ancaman Dinasti Politik: Konstitusi yang Dihianati

Politik dinasti di era Jokowi, menurut M. Rizal Fadillah, telah mencapai titik yang membahayakan fondasi demokrasi Indonesia. Puncaknya adalah putusan Mahkamah Konstitusi pada 2023 yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai wakil presiden, meski usianya belum memenuhi syarat konstitusional. Putusan ini, yang dipimpin oleh Anwar Usman, ipar Jokowi, dipandang sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi, di mana institusi hukum tertinggi justru menjadi alat politik keluarga.

Pengamat hukum tata negara menegaskan bahwa ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga erosi kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Fadillah menyebut Jokowi dan Gibran sebagai “penjahat konstitusi” yang telah merusak tatanan demokrasi, mengorbankan prinsip kesetaraan demi ambisi pribadi.

Pelajaran Nepal: Kemarahan Rakyat Tak Terbendung

M. Rizal Fadillah juga menyinggung pelajaran pahit dari Nepal sebagai peringatan nyata bagi Prabowo. Pada 10 September 2025, krisis politik di Kathmandu memuncak dengan demonstrasi besar yang berakhir ricuh. Menteri Keuangan Nepal, Bishnu Prasad Paudel, dikejar massa marah hingga dipaksa melepas pakaiannya dan tercebur ke sungai kotor di tengah kota. Video amatir yang viral di media sosial menjadi bukti betapa brutalnya kemarahan rakyat ketika institusi gagal melindungi mereka dari korupsi dan ketidakadilan.

Fadillah menyebut insiden ini sebagai cerminan dari apa yang bisa terjadi di Indonesia jika kemarahan publik terhadap dinasti Jokowi-Gibran tak segera ditangani. Di X, warganet sudah mulai membandingkan, dengan komentar seperti “Jokowi dan Gibran sebentar lagi nyebur sungai seperti di Nepal jika terus dilindungi.”

Jalan Sehat Prabowo: Bersama Rakyat, Jauhi Dinasti

M. Rizal Fadillah menegaskan bahwa satu-satunya jalan sehat bagi Prabowo adalah melepaskan diri dari ikatan Jokowi dan Gibran, lalu menghadapi persoalan bangsa bersama rakyat. Ini bukan soal permusuhan pribadi, melainkan komitmen pada rakyat yang telah memilihnya dengan harapan besar. Dengan membersihkan warisan pemerintahan lama—dari kasus dinasti hingga korupsi struktural—Prabowo bisa membuktikan bahwa ia adalah pemimpin sejati, bukan sekadar penerus bayang-bayang Jokowi.

Bersama rakyat, Prabowo tak terkalahkan. Fadillah menyerukan agar ia fokus pada kaum melarat, bukan lingkaran penjilat dan konglomerat, agar harkat bangsa benar-benar terangkat. Kritik di X menegaskan hal serupa: “Prabowo jadilah prajurit tempur, bukan ayam sayur.” Meski risikonya besar—termasuk menghadapi seribu kelemahan yang mungkin dipegang Jokowi—manfaatnya jauh lebih besar: menghindari kehancuran bersama dinasti yang sedang meluncur ke jurang.

Pada akhirnya, Fadillah mengingatkan: nasi yang sudah menjadi bubur tak bisa dikembalikan, tapi penyesalan di akhirat tak terukur. Prabowo harus memilih jalan sehat sekarang, sebelum sejarah mencatatnya sebagai pelindung penjahat konstitusi. Rakyat menunggu, dan waktu terus berjalan.