
Perbedaan Mendasar Antara Pajak dan Zakat
Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bahwa pajak memiliki kesamaan dalam hal keistimewaannya dengan zakat dan wakaf menarik perhatian publik. Beberapa pihak menganggap bahwa pernyataan tersebut menegaskan pentingnya pajak bagi pembangunan negara, sementara sebagian lain melihat penyamaan tersebut berpotensi menyebabkan kebingungan, khususnya bagi umat beragama.
Dosen Ekonomi Islam di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Dr Irham Zaki S Ag M EI, menekankan pentingnya pemahaman yang bijak antara kewajiban agama dan kewajiban negara. Menurutnya, meskipun zakat dan pajak sama-sama memiliki fungsi sosial, secara prinsip keduanya memiliki perbedaan mendasar.
“Kita harus sadar bahwa ada kewajiban yang datang dari perintah agama, ada pula kewajiban dari negara. Sebagai warga negara yang baik, dua-duanya harus dijalankan. Tetapi bukan berarti derajatnya sama,” ujarnya.
Menurut Irham, jika dikatakan sama-sama mulia dalam konteks pemberdayaan masyarakat, hal itu bisa dipahami. Namun jika disamakan secara umum, justru kurang bijak. Ia menilai bahwa penyampaian pernyataan harus dilakukan dengan hati-hati. Umat Islam meyakini ajaran agamanya pasti mendatangkan kemaslahatan. Jika zakat dikelola lebih terintegrasi dan diawasi negara, manfaatnya akan semakin besar bagi semua.
Potensi Integrasi Zakat dalam Sistem Perpajakan
Meski memiliki perbedaan, Irham tidak menutup kemungkinan zakat menjadi bagian dari instrumen fiskal negara. Menurutnya, jika dikelola dengan regulasi yang baik, zakat dapat menjadi sumber penguatan keuangan publik sekaligus menekan ketimpangan sosial. Namun, ia juga menyoroti kelemahan kebijakan saat ini. Zakat baru dihitung sebagai pengurang penghasilan kena pajak, bukan pengurang langsung pajak terutang.
“Misalnya penghasilan kita Rp200 juta per tahun. Kalau zakatnya Rp20 juta, maka penghasilan kena pajaknya berkurang menjadi Rp180 juta. Artinya, beban pajaknya masih tetap besar. Jadi zakat belum benar-benar meringankan,” jelasnya.
Ia menilai bahwa akan jauh lebih adil jika zakat diposisikan sebagai pengurang langsung pajak penghasilan. “Kalau pajak yang harus dibayar Rp30 juta, sedangkan kita sudah bayar zakat Rp20 juta, maka tinggal Rp10 juta saja kewajiban pajaknya. Itu akan lebih signifikan dampaknya,” tambahnya.
Perlu Kerangka Hukum yang Lebih Jelas
Ia menilai integrasi zakat dalam sistem perpajakan membutuhkan kerangka hukum yang lebih jelas. Revisi Undang-Undang Zakat, misalnya, bisa mempertimbangkan pengaturan sanksi bagi muzakki agar kewajiban zakat memiliki kepastian hukum, bukan hanya bagi pengelola zakat (amil).
“Kalau zakat masuk ke instrumen fiskal, negara hadir lebih kuat dalam pengawasan dan pemanfaatannya,” katanya.
Kesimpulan
Dengan demikian, meskipun zakat dan pajak memiliki tujuan yang serupa dalam membantu masyarakat, keduanya tetap memiliki perbedaan mendasar. Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan dalam implementasinya. Dengan regulasi yang jelas dan pengelolaan yang baik, zakat dapat menjadi salah satu bentuk kontribusi nyata dalam sistem keuangan negara.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!