
Perubahan Mendasar dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 telah membawa perubahan besar dalam wajah hukum pidana di Indonesia. Paradigma lama yang selalu menempatkan penjara sebagai solusi utama untuk berbagai perkara kini mulai bergeser. Kini, hakim diberikan ruang lebih luas untuk mengedepankan keadilan substantif melalui konsep Rechterlijk Pardon atau pemaafan hakim.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung, Prof. Dr. Syahlan, S.H., M.H., menjelaskan bahwa pembaruan ini menandai era baru dalam hukum pidana yang lebih humanis. Menurutnya, tidak semua perkara harus berakhir dengan hukuman penjara. KUHP baru memberi ruang kepada hakim untuk mengevaluasi motif, latar belakang, dan dampak sosial dari sebuah tindakan. Ini adalah langkah menuju memanusiakan manusia dalam sistem peradilan.
Perubahan Paradigma: Dari Balas Dendam ke Keadilan Substantif
Syahlan memberikan contoh kasus-kasus ringan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau pencurian kecil yang dilakukan oleh seorang nenek untuk kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, menjatuhkan hukuman penjara justru bisa menciptakan masalah sosial yang lebih kompleks.
“Pidana bukan alat balas dendam. Hakim kini wajib mempertimbangkan nilai-nilai hidup dalam masyarakat, termasuk hukum adat, agar bisa menciptakan keadilan yang lebih substantif. Paradigma baru ini menggeser asas legalitas murni,” ujarnya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa pemaafan hakim tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Kasus korupsi, narkotika, maupun kejahatan luar biasa lainnya tetap memerlukan pertimbangan matang dan tidak boleh dianggap sebagai komoditas dalam praktik peradilan. Pasal 52 dan 54 KUHP telah menegaskan bahwa pemaafan hanya bisa diberikan dengan pertimbangan yang tepat.
“Kebebasan hakim tetap dibatasi oleh tanggung jawab moral dan profesional. Jika disalahgunakan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum,” kata Syahlan.
Restorative Justice sebagai Fondasi Penegakan Hukum
Lebih lanjut, Syahlan menekankan pentingnya penerapan model Restorative Justice (RJ) dalam penegakan hukum. Model ini bertujuan untuk menyelesaikan perkara melalui rekonsiliasi antara pelaku dan korban, yang dinilai lebih bermanfaat daripada hukuman penjara.
“Dalam Restorative Justice, ada tiga pihak yang dilindungi: terdakwa, korban, dan masyarakat. Misalnya, dalam kasus kecelakaan lalu lintas akibat balapan liar, penyelesaian damai melalui RJ bisa lebih efektif daripada memenjarakan pelaku,” jelasnya.
Syahlan juga menyoroti peran media dalam menyosialisasikan paradigma baru KUHP. Menurutnya, masyarakat perlu memahami esensi pemaafan hakim agar tidak terjadi persepsi keliru.
“Jika tidak dijelaskan secara tepat, masyarakat bisa mengira hakim melindungi pelaku. Padahal tujuan utamanya adalah menciptakan keadilan dan kemanusiaan,” tutupnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!