
Pentingnya Kepastian Pesangon bagi Karyawan yang Terkena PHK
Dalam rapat kerja mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan, perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Roy Jinto, menyoroti pentingnya kepastian pesangon bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di perusahaan yang sedang dalam kondisi pailit. Ia menyampaikan bahwa saat ini banyak perusahaan memilih untuk pailit dengan tujuan menghindari pembayaran pesangon kepada para pekerja.
Menurut Roy, situasi ini sangat berbeda dibandingkan dengan karyawan di BUMN yang lebih memiliki perlindungan yang kuat. Di sektor swasta, karyawan cenderung lebih rentan dan tidak mendapatkan perlindungan yang cukup. Contohnya adalah kasus Sritex, yang memiliki utang mencapai Rp 29 triliun sementara asetnya hanya sebesar Rp 9 triliun. Dengan kondisi seperti ini, karyawan tidak akan mendapatkan pesangon ketika perusahaan tersebut tutup akibat kepailitan.
Oleh karena itu, Roy mengusulkan agar kepastian pesangon dimasukkan dalam aturan baru yang akan diterbitkan. Skema bisa disesuaikan, misalnya dengan melibatkan pihak ketiga atau mekanisme lain yang dapat membantu memastikan karyawan menerima haknya. Selain itu, ia juga meminta Menteri Ketenagakerjaan untuk turun tangan dan memastikan bahwa perusahaan yang pailit tetap mampu membayar pesangon kepada karyawan.
Roy juga menyarankan agar proses PHK dilakukan secara musyawarah mufakat atau bipartit. Saat ini, perusahaan biasanya memberi pemberitahuan tentang kemungkinan PHK, lalu melakukan negosiasi jika karyawan menolak. Namun, ia menilai bahwa mekanisme ini belum sepenuhnya adil dan perlu diperbaiki.
Perubahan Sistem Kerja dan Perlindungan Karyawan
Selain itu, Roy mengusulkan kepastian status karyawan di perusahaan serta penghapusan sistem outsourcing. Ia berharap batasan waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bisa lebih diperketat, misalnya tidak boleh melebihi 3 hingga 5 tahun. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan sistem kerja sementara yang sering kali merugikan karyawan.
Ia juga menyoroti pentingnya kejelasan dalam sistem magang. Roy mempertanyakan apakah sistem magang saat ini ditujukan untuk siswa yang sedang menjalani pendidikan atau justru digunakan sebagai alternatif pencarian kerja. Ini menjadi isu penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan RUU Ketenagakerjaan.
Disparitas Upah Minimum dan Jam Kerja
Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyoroti adanya disparitas upah minimum antar daerah. Menurutnya, ada kesenjangan yang signifikan antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, meskipun beban pengeluaran relatif sama. Kesenjangan ini mencerminkan ketidakadilan dalam sektor ketenagakerjaan.
Ristadi juga menyoroti masalah jam kerja. Meskipun jam kerja sama antar daerah, upah yang diterima karyawan berbeda. Untuk mengatasi hal ini, ia mengusulkan penerapan upah minimum sektoral secara nasional. Hal ini diharapkan bisa memberikan keadilan yang lebih besar bagi seluruh karyawan di seluruh Indonesia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!