
Rapat Pansus DPRD Bali Bahas Pembangunan Pabrik di Kawasan Tahura
Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang Aset dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali menggelar rapat bersama berbagai pihak terkait, termasuk UPT Taman Hutan Raya (Tahura), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali. Rapat ini digelar pada Selasa 23 September 2025, dan menjadi perhatian utama karena membahas pembangunan pabrik milik Warga Negara Asing (WNA) Rusia yang berada di atas kawasan Tahura.
Selama rapat berlangsung, suasana memanas saat isu tersebut dibahas. Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, secara tegas meminta agar pabrik tersebut ditutup. Menurutnya, keberadaan bangunan itu mengganggu fungsi alami kawasan, terutama dalam pengaliran air yang penting untuk mencegah banjir.
Supartha menjelaskan bahwa kawasan mangrove memiliki peran penting dalam mengalirkan air dari hulu ke hilir. Ia menegaskan bahwa kawasan tersebut harus difungsikan kembali agar tidak terjadi banjir lagi. Namun, di lapangan, ada banyak hambatan, salah satunya adalah penerbitan sertifikat tanah yang dinilai tidak sesuai dengan aturan.
Penyebutan Sertifikat Tanah di Kawasan Tahura
Pansus juga menyoroti adanya penerbitan sertifikat untuk 106 bidang tanah di kawasan Tahura, yang tersebar di beberapa wilayah seperti Pemogan, Sidakarya, Kuta, Jimbaran, Kedongan, Tuban, dan Tanjung Benoa. Dari jumlah tersebut, BPN Bali tidak dapat memberikan penjelasan yang jelas mengenai dasar permohonan sertifikat, pemecahan lahan, maupun proses lainnya.
Supartha menyatakan bahwa jika dasar penerimaan sertifikat ini diterima, maka akan banyak tempat usaha yang muncul di kawasan tersebut. Hal ini berpotensi menghalangi aliran air dari hulu ke hilir. Ia menekankan bahwa regulasi menyebutkan bahwa area sepanjang sungai minimal 3-5 meter dari pinggir sungai boleh digunakan untuk aktivitas. Namun, banyak wilayah tersebut sudah dimanfaatkan untuk bangunan.
Aturan dan Regulasi Terkait Penggunaan Lahan
Lebih lanjut, Supartha menyampaikan bahwa sesuai Undang-Undang (UU) Pesisir, blok kecil tidak diperbolehkan melakukan sertifikat, tidak boleh ada kegiatan reklamasi, serta tidak boleh ada penebangan atau pemotongan mangrove. Ia menegaskan bahwa kegiatan tersebut sangat berisiko terhadap dampak banjir.
Ia juga menyebutkan bahwa pabrik material milik WNA Rusia telah beroperasi di kawasan Tahura sebagai Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, pabrik tersebut belum memiliki izin lengkap. Menurut Supartha, hal ini menunjukkan bahwa persyaratan usaha belum terpenuhi.
Kewenangan dan Regulasi Terkait Sertifikat
Supartha menjelaskan bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur kewenangan pihak yang mengeluarkan sertifikat untuk mencabutnya. Salah satu contohnya adalah UU Nomor 20/2001 yang menyebutkan bahwa sertifikat hak atas tanah bisa dicabut jika tidak sesuai dengan regulasi.
Selain itu, ia menyoroti bahwa ada kegiatan usaha yang dilakukan selama lebih dari 30 tahun di kawasan tersebut. Meskipun demikian, persyaratan usaha belum terpenuhi, sehingga perlu dipertanyakan legalitasnya.
Konservasi dan Wilayah Mangrove
Kawasan konservasi dan hutan lindung di Tahura terdapat mangrove yang tumbuh di tempat-tempat yang diduga atau dikatakan sebagai milik pribadi. Oleh karena itu, baik pemilik pribadi maupun yang dikelola oleh kehutanan dan Tahura, kawasan tersebut harus dipastikan tidak diterbitkan sertifikat kepemilikan.
Supartha menegaskan bahwa perlu dilakukan kajian mendalam untuk menentukan apakah wilayah tersebut layak disertifikatkan atau tidak. Ia menyarankan agar dilakukan koordinasi dengan instansi terkait, seperti Dinas Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, untuk memastikan kebijakan yang tepat.
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Menurut catatan UPT Tahura, luas kawasan yang dikelola mencapai 1.373,50 hektare. Namun, terdapat perubahan fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas kurang lebih 169,95 hektare. Selain itu, ada penurunan luas kawasan akibat adanya bangunan religi dan bangunan lain yang tidak dapat dihindari.
Akibatnya, luas kawasan hutan mangrove berkurang menjadi 932,49 hektare. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut semakin terancam oleh aktivitas manusia.
Pandangan dari BPN Bali
Sementara itu, Kepala BPN Bali, I Made Daging, menyatakan bahwa lahan di sekitar kawasan Tahura yang berdiri bangunan perlu dilihat asal-usulnya. Ada kemungkinan lahan tersebut awalnya merupakan tanah adat yang kemudian diproses melalui konversi.
Ia juga menyebutkan bahwa berdasarkan tata ruang, lahan yang dipermasalahkan tersebut seharusnya digunakan untuk perindustrian. Namun, ia menekankan bahwa data yang tersedia masih mentah dan perlu pendalaman lebih lanjut.
Dari total 106 lahan yang disebutkan, hanya sedikit yang beririsan dengan hutan mangrove, sedangkan sebagian besar mungkin berada di dalam kawasan tersebut. Ia menutup rapat dengan menyatakan bahwa perlu dilakukan kajian lebih mendalam sebelum mengambil keputusan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!