Kisah Kentang, Singkong, dan Ubi: Pendatang Jadi Tuannya

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Perjalanan Umbi di Nusantara: Dari Makanan Kuno ke Budaya Modern

Di Indonesia, kisah umbi seperti ubi, singkong, dan kentang memiliki cerita yang menarik. Ketiga tanaman ini bukan berasal dari tanah air, melainkan datang dari benua Amerika. Meski begitu, mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya makanan kita selama ratusan tahun.

Perjalanan ketiganya tidak hanya tentang pangan, tetapi juga mencerminkan perubahan selera, penyesuaian ekonomi, serta pergeseran status sosial. Hal ini membuktikan betapa terbukanya masyarakat Indonesia terhadap pendatang. Tak heran, ketiganya menjadi favorit banyak orang.

Dulu, ada batas yang jelas antara jenis-jenis umbi ini. Kentang sering dikaitkan dengan kehidupan perkotaan, modern, dan dekat dengan restoran cepat saji. Sementara itu, singkong dan ubi jalar dianggap sebagai makanan desa, tradisional, dan milik masyarakat agraris. Citra mereka dianggap sederhana bahkan kadang kuno. Namun, seiring waktu, batas tersebut mulai kabur.

Sekarang, kita bisa melihat bahwa citra tersebut semakin berubah. Di kafe-kafe yang sedang tren, keripik singkong hadir dalam varian rasa premium dan harga yang tidak murah lagi. Anak muda menyukainya. Ubi Cilembu panggang dengan rasa madunya yang lumer pun menjadi hidangan penutup favorit. Bahkan, kentang goreng beku bisa ditemukan di warung kecil di pelosok desa.

Selera kota dan desa saling bertemu. Letak geografis tidak lagi menjadi penghalang bagi pilihan lidah. Batasan lama mulai kehilangan relevansi. Seiring dengan perubahan ini, muncul anggapan bahwa umbi pendatang "menggusur" umbi lokal seperti talas atau gadung. Kata "menggusur" terdengar keras, namun mungkin istilah "tergantikan" lebih tepat untuk menggambarkan posisi mereka di panggung utama.

Kenyataannya, umbi lokal tidak hilang. Talas Bogor masih menjadi komoditas dan ikon kuliner daerah. Mereka hanya bergeser dari posisi utama menjadi hadir di pasar yang lebih spesifik, dengan penggemar setia yang cukup banyak. Selain itu, perjalanan singkong juga menunjukkan perubahan signifikan. Dulu, ia melekat dengan citra kemiskinan dan keterbatasan. Sekarang, singkong naik kelas dengan berbagai produk turunan seperti tepung mocaf yang sehat dan bebas gluten, alternatif terigu yang banyak dipilih.

Produk-produk ini masuk dalam ekonomi kreatif dan didorong ke pasar dunia. Ada juga olahan modern lain, seperti keripik singkong premium dan singkong keju. Semua ini menegaskan bahwa nasib singkong kini berbeda. Ia bukan lagi sekadar pangan murah.

Perdebatan antara umbi pendatang dan umbi lokal sebaiknya dilihat dengan kepala dingin. Ini bukan cerita saling singkir, melainkan pengayaan budaya. Kedatangan ubi jalar dan singkong memperluas pilihan pangan. Dampaknya besar untuk ketahanan pangan nasional.

Saat panen satu tanaman gagal, masih ada penyangga lain. Ladang yang beragam membuat sistem pangan lebih tangguh dan siap menghadapi krisis. Jika ditarik lebih jauh, kisah tiga umbi ini adalah cermin globalisasi pangan yang sudah berjalan lama. Pertukaran bahan masak antarbenua memang bagian dari sejarah. Bukan hanya umbi yang datang dari jauh, tetapi banyak bumbu dan sayur harian kita juga pendatang.

Cabai dan tomat, misalnya, berasal dari Amerika dan baru hadir di sini beberapa abad lalu. Makanan akan terus bergerak, menyesuaikan diri dengan lidah lokal, lalu menjadi bagian dari budaya baru. Cerita tentang ubi, singkong, dan kentang belum selesai. Piring kita akan menulis babak-babak berikutnya seiring waktu.