
Ambisi Besar Presiden Prabowo dalam Mengatasi Masalah Sampah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki rencana besar untuk membangun 33 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi beban sampah yang semakin meningkat dan sekaligus memanfaatkan sampah sebagai sumber energi listrik. Dengan adanya PLTSa, pemerintah berharap dapat menyelesaikan masalah darurat sampah yang terus mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), volume sampah nasional diperkirakan akan meningkat drastis pada tahun 2045. Pada 2025, volume sampah mencapai 63 juta ton, sedangkan pada 2045 diprediksi mencapai 82,2 juta ton. Namun, kemampuan pengelolaan sampah akan menurun seiring dengan peningkatan populasi. Pada 2025, hanya 59,7% sampah yang terkelola, sedangkan pada 2045, angka ini turun menjadi 9,39%. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan pengelolaan sampah akan semakin berat jika tidak ada solusi yang efektif.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa pada 2024, volume sampah di Indonesia mencapai 34,2 juta ton. Namun, hanya sekitar 20,4 juta ton atau 59,74% yang terkelola, sementara sisanya 13,8 juta ton masih belum dikelola. Sampah rumah tangga tetap menjadi penyumbang terbesar, dengan kontribusi sebesar 53,74% pada 2024. Angka ini menunjukkan bahwa perlu adanya perubahan pola pengelolaan sampah, terutama dari sisi masyarakat.
Saat ini, TPA di seluruh Indonesia telah menumpuk hingga 1,7 miliar ton sampah. Setiap tahunnya, tambahan sampah mencapai 56,3 juta ton. Kondisi ini diperparah oleh sistem pengelolaan yang belum optimal dan keterbatasan teknologi. Oleh karena itu, pemerintah memilih untuk mengolah sampah menjadi energi melalui PLTSa. Presiden Prabowo Subianto meminta agar program waste to energy dipercepat, dengan target pembangunan 33 PLTSa dalam waktu 18 tahun.
Proses administrasi akan dipangkas menjadi 3 bulan agar target tersebut bisa tercapai. Setiap PLTSa diharapkan mampu menghasilkan rata-rata 20 MW listrik. Saat ini, pemerintah sedang melakukan revisi aturan terkait pengelolaan sampah melalui PLTSa. Tiga peraturan presiden yang akan digabungkan adalah Perpres Nomor 97 Tahun 2017, Perpres Nomor 35 Tahun 2018, dan Perpres Nomor 83 Tahun 2018.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa Presiden Prabowo ingin mencapai target 100% pengelolaan sampah pada 2029. Untuk mencapai hal ini, diperlukan investasi sebesar Rp300 triliun. Dana ini akan digunakan untuk transformasi 343 TPA menjadi sistem controlled landfill atau sanitary landfill, serta pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF), PLTSa di 33 kota, 250 tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), dan 42.000 TPS Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Revisi aturan Perpres yang sedang dibahas akan membuat harga jual listrik hasil pengolahan sampah kepada PT PLN (Persero) ditentukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar US$20 sen per kilowatt jam (KWh). Teknologi yang digunakan adalah sistem insinerator, di mana sampah dibakar di ruang tertutup dengan suhu tinggi, lalu panasnya digunakan untuk menghasilkan listrik.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menekankan pentingnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan sampah. PLN akan menjadi pembeli listrik dari PLTSa. Pemerintah juga berencana mempercepat proses perizinan dengan Kementerian ESDM sebagai pemberi izin langsung ke PLN.
Meski demikian, banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan PLTSa. Biaya pembangunan PLTSa sangat bervariasi, mulai dari US$5 juta hingga US$10 juta per Megawatt (MW). Selain itu, pemilahan sampah menjadi salah satu faktor penting, karena sampah yang tidak terpilah akan menyulitkan operasional PLTSa. Selain itu, dampak polusi udara dari pembakaran sampah juga menjadi isu utama.
Ahli ekonomi dan hukum seperti Bhima Yudhistira menilai biaya pengembangan PLTSa relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Selain itu, PLTSa kurang kompetitif karena harga jual listrik kepada PLN yang tinggi dan ketidakpastian dalam jual beli listrik.
Greenpeace Indonesia juga mengkritik rencana pembangunan PLTSa, menilai bahwa ini bukan solusi utama untuk masalah sampah. Sebaliknya, mereka menyarankan agar fokus pada pengurangan sampah di hulu melalui daur ulang dan pemilahan sampah. Dwi Sawung dari Walhi menambahkan bahwa tanpa evaluasi yang memadai, pembangunan PLTSa justru akan menimbulkan masalah baru.
Dengan berbagai tantangan yang ada, pemerintah perlu merancang strategi yang lebih holistik dalam mengatasi masalah sampah. PLTSa bisa menjadi bagian dari solusi, namun tidak boleh menjadi satu-satunya cara. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!