
Perlindungan Whistleblower dalam RUU KUHAP
Seorang peneliti dari Universitas Cambridge, Ahmad Novindri Aji Sukma, menyampaikan usulan penting terkait perlindungan whistleblower dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Usulan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR yang berlangsung di Jakarta pada Selasa. Ahmad menekankan bahwa perlindungan bagi pelapor tindak pidana sering kali menjadi kunci dalam mengungkap kasus korupsi dan kejahatan lainnya.
Namun, hingga saat ini, perlindungan tersebut belum sepenuhnya diakui dalam prosedur acara pidana. Tanpa adanya mekanisme pelaporan yang aman, larangan pembalasan yang tegas, anonimisasi, serta tata cara pemeriksaan jarak jauh yang melindungi identitas pelapor, para whistleblower berisiko mengalami kriminalisasi atau intimidasi.
Ahmad menyarankan agar RUU KUHAP mencakup bab khusus yang mendefinisikan whistleblower, menetapkan mekanisme anti-pembalasan, menjaga kerahasiaan identitas, dan memungkinkan pemeriksaan jarak jauh. Ia juga menekankan pentingnya merujuk kasus ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta menetapkan sanksi bagi pihak yang membocorkan identitas pelapor. "Dengan kerangka ini, pelapor dapat lebih berani mengajukan bukti yang kuat, sementara keadilan prosedur tetap terjaga," ujar Ahmad.
Kelemahan dalam Pengaturan Acara Pidana
Menurut Ahmad, salah satu kelemahan serius dalam pengaturan acara pidana adalah kurangnya perlindungan bagi saksi dan pelapor. "Kita sering melihat whistleblower justru dikriminalisasi balik, padahal mereka beriktikad baik melaporkan pelanggaran," ujarnya.
Pengakuan ini menunjukkan betapa pentingnya sistem perlindungan yang kuat untuk mencegah hal-hal seperti itu terjadi. Dengan perlindungan yang jelas, pelapor akan lebih percaya diri untuk memberikan informasi penting tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Perkembangan Pembahasan RUU KUHAP
Wakil Ketua Komisi III DPR, Dede Indra Permana, menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan terus berlanjut hingga masa sidang selanjutnya. Selama masa sidang Agustus-September 2025, Komisi III DPR berfokus pada penyerapan aspirasi masyarakat mengenai KUHAP, termasuk melalui kunjungan ke berbagai daerah.
Proses ini menunjukkan komitmen DPR untuk memastikan bahwa RUU KUHAP mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli dan praktisi hukum, diharapkan RUU ini dapat menjadi landasan yang kuat dalam memperkuat sistem peradilan pidana.
Langkah-Langkah yang Perlu Diambil
Beberapa langkah penting yang perlu diambil dalam RUU KUHAP antara lain:
- Membuat bab khusus yang secara jelas mendefinisikan siapa saja yang dianggap sebagai whistleblower.
- Menetapkan mekanisme anti-pembalasan yang tegas dan efektif.
- Memastikan kerahasiaan identitas pelapor, termasuk melalui pemeriksaan jarak jauh.
- Merujuk kasus-kasus whistleblower ke LPSK untuk perlindungan tambahan.
- Menetapkan sanksi yang jelas bagi pihak yang membocorkan identitas pelapor.
Dengan implementasi langkah-langkah ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi para pelapor, sehingga mereka tidak lagi takut untuk melaporkan tindak pidana yang mereka temui.
Kesimpulan
Perlindungan whistleblower dalam RUU KUHAP merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Dengan perlindungan yang kuat, pelapor akan lebih berani memberikan informasi penting, yang akhirnya akan berkontribusi pada penegakan hukum yang lebih adil dan transparan. Proses pembahasan RUU KUHAP harus terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli hukum dan masyarakat, agar hasilnya dapat mencerminkan kebutuhan nyata.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!