
Pengalaman Membaca di Tempat yang Menjadi Latar Cerita
Bayangkan Anda sedang duduk di sebuah kafe kecil di Belitung sambil membuka novel Laskar Pelangi, lalu menengadah ke arah sekolah replika yang pernah muncul di layar filmnya. Pada saat itu, buku bukan hanya cerita di atas kertas, tetapi juga pengalaman yang hidup di depan mata. Inilah konsep retret membaca yang kini sedang berkembang pesat di Inggris.
Retret membaca bukan sekadar aktivitas liburan biasa. Wisatawan memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku di lokasi yang berkaitan erat dengan kisah yang mereka baca. Kombinasi ini menciptakan sensasi unik: sebagian perjalanan, sebagian klub buku, dan sebagian lagi pengalaman budaya yang mendalam.
Fenomena ini tentu membuat kita bertanya: mungkinkah retret membaca suatu hari nanti menjadi bagian dari pariwisata Indonesia? Negara yang kaya akan karya sastra dan keindahan alam tentu punya potensi besar untuk mengembangkan konsep serupa.
Fenomena Retret Membaca di Dunia
Retret membaca di Inggris mulai populer sejak digagas oleh Paul Wright melalui komunitas Books in Places pada 2023. Awalnya, Wright hanya ingin berkumpul dengan teman-teman klub bukunya untuk membaca sambil bersantai. Namun ide sederhana itu kemudian berkembang menjadi perjalanan akhir pekan di Inggris, bahkan retret panjang ke luar negeri seperti Italia, Mesir, Portugal, hingga Kreta.
Kunci dari retret membaca adalah lokasi. Wright berpendapat bahwa sebuah cerita dalam buku akan terasa lebih nyata ketika pembaca berada langsung di tempat yang menjadi latarnya. Misalnya, adegan yang tadinya hanya kata-kata di atas kertas tiba-tiba menjadi hidup ketika pembaca berjalan di gang yang sama, mencicipi makanan yang sama, atau merasakan cahaya yang sama seperti para tokoh dalam novel.
BBC mencatat, salah satu peserta, Lyn Margerison, merasakan hal itu ketika ia membaca novel favoritnya sambil berlibur di Florence, Italia. Pengalaman ini tidak hanya membuat membaca menjadi lebih menyenangkan, tetapi juga memperluas perspektif. Margerison mengaku selalu pulang dengan semangat baru untuk membaca, sekaligus dengan daftar bacaan yang lebih panjang. Retret membaca juga memberi kesempatan bertemu orang-orang dengan minat yang sama, sehingga kegiatan yang awalnya individual menjadi ritual sosial.
Wright bahkan pernah mengajak peserta menjelajahi reruntuhan Spinalonga di Kreta, yang menjadi inspirasi novel The Island karya Victoria Hislop. Ia juga mengadakan perjalanan ke Monroeville, Alabama, untuk mendalami To Kill a Mockingbird karya Harper Lee. Di Jamaika, ia mengajak pembaca menelusuri tempat-tempat angker yang pernah ditinggali Ian Fleming saat menulis Dr. No.
Tren ini berkembang sangat cepat. Sepanjang 2024, Wright menyelenggarakan tujuh perjalanan. Tahun 2025, ia menawarkan 25 perjalanan dan semuanya ludes terjual hanya dalam 24 jam setelah diumumkan. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap wisata sastra semakin besar.
Mengapa Tren Ini Menarik?
Retret membaca menjadi menarik karena menggabungkan tiga elemen sekaligus: hiburan, edukasi, dan pengalaman budaya. Aktivitas membaca yang biasanya dianggap pasif berubah menjadi kegiatan aktif yang melibatkan interaksi dengan lingkungan nyata. Dengan begitu, wisatawan tidak hanya pulang dengan kenangan, tetapi juga dengan pengalaman intelektual yang lebih kaya.
Di tengah gaya hidup serba cepat, banyak orang mendambakan perjalanan yang lebih bermakna. Generasi milenial dan Gen Z, misalnya, sering disebut sebagai generasi pencari pengalaman. Mereka tidak puas dengan liburan yang hanya menghabiskan uang untuk foto-foto media sosial. Mereka menginginkan liburan yang memberi nilai tambah, baik untuk diri sendiri maupun pemahaman budaya.
Retret membaca menjawab kebutuhan itu. Dengan membaca buku di tempat asal ceritanya, peserta bisa merasakan kedekatan emosional dengan kisah yang mereka baca. Hal ini memberikan efek "immersive" yang jauh lebih kuat daripada sekadar menonton film atau melihat gambar di internet.
Selain itu, retret membaca juga memberi kesempatan bagi pembaca untuk saling bertemu dan berdiskusi. Buku yang biasanya dibaca sendirian, kini menjadi jembatan untuk membangun komunitas. Diskusi yang berlangsung di lokasi cerita membuat pengalaman itu semakin hidup.
Fenomena ini juga sejalan dengan tren global literasi digital seperti BookTok, festival sastra, dan komunitas klub buku. Semua itu menunjukkan bahwa membaca bukan lagi kegiatan individu, tetapi sudah menjadi gaya hidup yang bisa dipamerkan, dibicarakan, dan dirayakan.
Retret membaca juga bisa menjadi solusi bagi mereka yang ingin melakukan digital detox. Dengan tenggelam dalam cerita di tengah suasana baru, wisatawan bisa lepas sejenak dari kebisingan media sosial. Hal ini sekaligus menyehatkan pikiran dan memberi kesempatan untuk fokus.
Akhirnya, retret membaca berhasil memadukan dua kebutuhan manusia modern: keinginan untuk bepergian dan kerinduan untuk memperkaya diri melalui literasi. Inilah yang membuat tren ini begitu diminati.
Potensi Indonesia
Jika retret membaca bisa berkembang pesat di Inggris, mengapa Indonesia tidak bisa menirunya? Indonesia memiliki modal yang bahkan lebih kuat: keragaman budaya, lanskap alam yang indah, dan karya sastra yang diakui dunia.
Ambil contoh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Cerita tentang anak-anak Belitung ini sudah mendunia, bahkan pernah difilmkan dan mendapat perhatian internasional. Membaca novel itu sambil berkunjung ke sekolah replika di Belitung tentu akan memberikan pengalaman yang lebih hidup.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer juga bisa menjadi basis retret membaca. Membaca Bumi Manusia di rumah Pram di Blora, misalnya, bukan hanya pengalaman literer tetapi juga ziarah sejarah. Tempat-tempat yang pernah menjadi latar perjuangan dan pemikiran Pram bisa dijadikan destinasi yang kaya makna.
Di Sulawesi Selatan, kisah epik La Galigo yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia bisa dijadikan pintu masuk untuk wisata sastra berbasis budaya lokal. Membaca potongan kisahnya di Makassar sambil menyaksikan pentas seni tradisional tentu memberi kesan mendalam.
Indonesia juga punya novel Saman karya Ayu Utami yang berlatar Sumatra Selatan. Retret membaca bisa mengajak peserta menelusuri daerah perkebunan yang menjadi latar novel ini, sambil berdiskusi tentang tema besar yang diangkat, mulai dari feminisme hingga isu sosial-politik.
Festival literasi yang sudah ada di berbagai kota juga bisa menjadi wadah untuk mengembangkan konsep ini. Festival di Makassar, Borobudur, hingga Ubud sudah terbukti mampu menarik perhatian ribuan peserta. Tinggal selangkah lagi untuk menggabungkannya dengan konsep retret membaca yang lebih terstruktur.
Pariwisata literasi di Indonesia bahkan bisa diperkuat dengan dukungan komunitas daring. Tren BookTok yang banyak digandrungi anak muda bisa menjadi media promosi. Generasi digital ini bisa menjadi motor penggerak yang membuat retret membaca di Indonesia cepat dikenal luas.
Dengan segala kekayaan yang ada, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk menjadikan retret membaca sebagai bagian dari industri pariwisata kreatif. Pertanyaannya tinggal: siapa yang mau memulainya lebih dulu?
Tantangan dan Realitas
Meski potensinya besar, mengembangkan retret membaca di Indonesia bukan tanpa tantangan. Pertama adalah soal aksesibilitas. Tidak semua daerah yang kaya sastra punya infrastruktur pariwisata yang memadai. Transportasi, penginapan, hingga fasilitas publik sering kali masih terbatas.
Kedua, ada risiko retret membaca hanya menjadi tren untuk kalangan menengah ke atas. Jika biayanya terlalu mahal, kegiatan ini bisa menjadi elitis dan tidak inklusif. Padahal, semangat literasi seharusnya bisa dinikmati semua kalangan.
Tantangan lain adalah kesiapan masyarakat lokal. Pariwisata berbasis sastra membutuhkan pemandu yang tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga memahami isi buku dan konteks budayanya. Tanpa itu, retret membaca hanya akan menjadi perjalanan biasa tanpa nilai tambah.
Peran pemerintah daerah juga krusial. Banyak karya sastra lahir dari daerah tertentu, tetapi belum dianggap sebagai aset pariwisata. Dukungan regulasi, promosi, dan pendanaan diperlukan agar retret membaca bisa berjalan berkelanjutan.
Di sisi lain, perlu ada sinergi dengan komunitas literasi. Komunitas inilah yang sering kali lebih dekat dengan pembaca. Tanpa keterlibatan mereka, retret membaca bisa terasa artifisial dan kehilangan ruhnya.
Ada juga tantangan soal promosi. Bagaimana menjual ide ini ke masyarakat yang mungkin lebih terbiasa dengan wisata alam dan kuliner? Perlu strategi kreatif agar retret membaca tidak dianggap membosankan, melainkan justru eksklusif dan bernilai tambah.
Akhirnya, tantangan terbesar adalah membangun kesadaran bahwa literasi bisa menjadi daya tarik pariwisata. Selama membaca masih dianggap sekadar hobi pribadi, retret membaca akan sulit diterima sebagai bagian dari industri wisata.
Mimpi dan Ajakan
Meski penuh tantangan, bukan berarti retret membaca mustahil diwujudkan di Indonesia. Justru di sinilah mimpi itu menjadi menarik. Indonesia punya segalanya: cerita, tempat, komunitas, dan semangat. Tinggal bagaimana semua elemen ini dirangkai menjadi pengalaman yang unik.
Bayangkan sebuah retret membaca di Belitung. Peserta datang bukan hanya untuk menikmati pantai, tetapi juga membaca Laskar Pelangi bersama, berdiskusi di sekolah replika, dan bertemu langsung dengan penulis lokal. Itu bukan sekadar wisata, melainkan perjalanan literasi.
Atau sebuah perjalanan di Blora, Jawa Tengah. Para peserta membaca karya Pramoedya sambil menelusuri jejak kehidupannya, lalu berdiskusi di rumah yang pernah ia tinggali. Pengalaman ini bisa menghubungkan generasi muda dengan sejarah bangsa.
Di Makassar, retret membaca bisa dikaitkan dengan pertunjukan budaya La Galigo. Membaca kisahnya sambil menyaksikan pementasan tentu akan menghadirkan pengalaman lintas medium yang kaya.
Bahkan, komunitas daring bisa menjadi perpanjangan dari retret membaca. Setelah perjalanan usai, peserta tetap bisa berdiskusi secara online, berbagi bacaan baru, atau merencanakan perjalanan berikutnya.
Dengan begitu, retret membaca tidak berhenti pada liburan, tetapi menjadi bagian dari gaya hidup literasi.
Mimpi ini juga bisa menjadi peluang ekonomi. Industri pariwisata bisa menggandeng penerbit, toko buku, hingga penulis lokal. Setiap perjalanan bukan hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga menghidupkan ekosistem sastra.
Dengan dukungan pemerintah, komunitas, dan masyarakat, retret membaca bisa menjadi wajah baru pariwisata kreatif Indonesia. Dunia sudah membuktikan potensinya. Kini giliran kita untuk mengambil langkah pertama.
Mimpi itu mungkin terdengar besar, tetapi setiap gerakan selalu berawal dari langkah kecil. Siapa tahu, suatu hari nanti, retret membaca ala Indonesia akan menjadi tren yang mendunia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!