
Peran Tubuh dalam Perspektif Sosio-Religius dalam Puisi "Benang-Benang Ibu"
Sastra adalah sebuah bentuk ekspresi yang memiliki keindahan dan makna. Kata ini berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu śāstra, yang berarti teks atau pedoman. Dalam konteks Indonesia, sastra merujuk pada karya-karya tulis yang memiliki nilai estetika dan makna. Karya sastra seperti novel, cerpen, puisi, drama, dan lainnya sangat populer dan diminati oleh banyak orang.
Dalam masyarakat NTT, sastra dan kebudayaan saling terkait dengan eksistensi manusia. Kekayaan intelektual dan tradisi yang dimiliki oleh NTT merupakan warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Sastrawan seperti Rendra dan Pater John Dami Mukese menunjukkan betapa pentingnya budaya dalam berkarya. Mereka memperlihatkan bahwa seni dan budaya menjadi bagian dari identitas yang kuat.
Erich Langobelen, seorang penyair muda dari Lembata, menggambarkan tubuh dalam perspektif sosio-religius melalui puisinya yang berjudul “Benang-Benang Ibu.” Puisi ini menggambarkan proses kelahiran dan pertumbuhan seseorang melalui simbol-simbol tenun ikat yang khas NTT. Erich menggunakan metafora benang sebagai representasi tubuh dan identitas yang dibentuk oleh pengalaman hidup dan pengaruh budaya.
Analisis Puisi "Benang-Benang Ibu"
Pada bait pertama, Erich menyampaikan bahwa ibunya adalah seorang penjahit yang menjahit anak-anaknya. Hal ini merepresentasikan proses pembentukan diri melalui pengaruh orang tua. Kata “sering-sering” menggambarkan bagaimana tubuh dan identitas seseorang dibentuk secara bertahap. Erich juga menyebutkan bahwa ia adalah jahitan terakhir setelah empat jahitan sebelumnya, menunjukkan posisi dirinya sebagai anak kelima dalam keluarga.
Bait kedua menunjukkan ketidaksempurnaan identitas diri melalui simbol benang hitam dan putih. Benang-benang ini merepresentasikan pengalaman hidup yang masih belum sempurna. Erich menyampaikan bahwa identitas manusia tidak selalu utuh, tetapi terus berkembang dan berevolusi.
Di bait ketiga, Erich menggambarkan pengalaman masa kecil di mana ibunya menjahit tubuhnya dengan benang hitam. Meskipun proses ini terasa sakit, ia menyadari bahwa hal itu sangat berarti bagi perkembangan dirinya. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pengalaman hidup sering kali pahit, tetapi memiliki makna yang mendalam.
Pada bait keempat, Erich menanyakan mengapa ibunya menjahit kepalanya dengan benang hitam. Jawaban ibunya menunjukkan bahwa rambut akan berubah menjadi putih seiring waktu. Simbol ini menggambarkan proses menua dan penerimaan diri. Selain itu, istilah “merpati datang dan hinggap” mengandung makna religius, yang merujuk pada Roh Kudus sebagai tanda kedewasaan spiritual.
Bait kelima menggambarkan saat Erich sudah dewasa dan ibunya kembali menjahitnya dengan benang putih. Ini menunjukkan transformasi diri dan penerimaan atas peran baru dalam hidup. Benang putih juga merepresentasikan kemurnian dan kesucian, yang menjadi bagian dari identitas spiritual.
Pesan Religius dalam Puisi
Percakapan dalam puisi ini memberikan makna religius yang mendalam. Pertanyaan tentang penyiksaan dan pelayanan Tuhan menunjukkan bahwa pertumbuhan spiritual sering kali diiringi tantangan. Erich menyampaikan bahwa melayani Tuhan membutuhkan kemurnian dan kesucian, yang diwakili oleh benang putih.
Di akhir puisi, Erich menunjukkan sikap keibuan dalam diri sang aku. Ibu mengajarkan untuk tetap menjaga kebersihan hati dan jiwa. Pesan ini menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Mencari makna dalam puisi membutuhkan kepekaan dan pemahaman mendalam. Puisi “Benang-Benang Ibu” menunjukkan bagaimana tubuh dan identitas seseorang dibentuk oleh pengalaman hidup, budaya, dan spiritualitas. Erich berhasil menggabungkan unsur-unsur lokal dengan pesan universal yang mendalam. Dengan karya ini, Erich membuktikan bahwa sastra dapat menjadi alat untuk menyampaikan pesan yang bermakna dan membangun identitas yang kuat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!