
Masalah Struktural Agraria yang Menghimpit Rakyat Indonesia
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap berbagai tantangan struktural dalam sektor agraria yang terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hal ini menjadi perhatian serius KPA dalam memperingati hari tani, yang jatuh pada hari ini, Rabu (24/9/2025). Berikut adalah beberapa isu utama yang disampaikan oleh KPA.
Ketimpangan Penguasaan Tanah yang Membesar
Salah satu masalah utama yang diangkat oleh KPA adalah ketimpangan penguasaan tanah yang semakin parah. Indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,58 berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2022). Angka ini menunjukkan bahwa hanya 1 persen kelompok orang yang menguasai 58 persen tanah dan kekayaan agraria nasional. Sementara itu, 99 persen rakyat Indonesia harus saling berebut sisa tanah yang tersisa. Bahkan, data dari Kementerian ATR/BPN menyebutkan bahwa ada sekitar 60 keluarga pengusaha yang menguasai 26,8 juta hektare tanah.
"Ketimpangan ini adalah situasi tragis yang sedang dialami bangsa Indonesia," ujar Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika.
Pengusiran Warga Desa dari Tanah Garapan
Masalah kedua yang diperhatikan oleh KPA adalah pengusiran warga desa dari tanah garapan, pemukiman, dan kampung mereka. Contohnya adalah kasus warga desa di Kabupaten Bogor yang tanahnya dilelang atau warga sebuah desa yang diusir karena masuk dalam kawasan hutan. Plang-plang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) seperti di Tebo sering kali digunakan untuk menakuti warga setempat.
Saat ini, terdapat 25 ribu desa yang tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan, bahkan ribuan desa lainnya masuk ke dalam Hak Guna Usaha (HGU). Situasi ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan adil oleh negara, sehingga masyarakat merasa diperlakukan tidak adil.
Peningkatan Konflik Agraria
KPA juga melaporkan peningkatan dan akumulasi konflik agraria. Dalam 10 tahun terakhir, tercatat sedikitnya 3.234 letusan konflik agraria dengan luasan mencapai 7,4 juta hektar. Sebanyak 1,8 juta keluarga terdampak dari konflik ini. Konflik ini umumnya disebabkan oleh operasi bisnis perkebunan, kehutanan, tambang, PSN, pertanian skala besar, kawasan bisnis, dan perumahan mewah.
Dalam tiga bulan pasca pelantikan Presiden Prabowo, terjadi 63 letusan konflik agraria. "Ini adalah bukti nyata dari cara pembangunan pemerintah yang masih bersandar pada perampasan tanah rakyat atas nama investasi dan korporasi besar yang 'lapar tanah'," ujar Dewi.
Represivitas Polri-TNI
KPA juga menyoroti meningkatnya represivitas dari institusi Polri dan TNI. Kedua lembaga ini dinilai digunakan oleh pengusaha dan pemerintah sebagai penjaga bisnis di sektor agraria. Akibatnya, 2.481 orang dikriminalisasi, 1.054 orang menjadi korban kekerasan, 88 orang tertembak, dan 79 orang tewas hanya karena mempertahankan tanahnya.
"Masalah ini tidak lepas dari pilihan pendekatan legalistik dan represif TNI-Polri di lokasi konflik agraria," ujar Dewi.
Menteri sebagai Sumber Konflik Agraria
Selain itu, KPA menyentil sebagian menteri yang justru menjadi sumber konflik agraria lama maupun baru. Bahkan, para menteri tersebut tidak pernah membahas bagaimana cara menyelesaikan ribuan konflik agraria di perkebunan swasta, BUMN, kehutanan, tambang, serta pesisir-pulau-pulau kecil. Semua menteri dan kepala badan disebut KPA selalu menghindari tanggung jawab penyelesaian konflik agraria.
"Hal ini sengaja dilakukan karena mereka sendirilah yang terlibat dan menyebabkan jutaan masyarakat kehilangan tanahnya, serta enggan mengganggu para pengusaha dan bisnisnya," ucap Dewi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!