
Aceh: Potensi Ekonomi yang Masih Tertunda
Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, sering kali dilihat sebagai daerah miskin. Namun, fakta menunjukkan bahwa Aceh memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Lautannya yang luas penuh dengan ikan, tanahnya yang subur untuk berbagai komoditas pertanian, serta kekayaan bawah tanah seperti gas dan mineral, semuanya menjadi bukti bahwa Aceh tidak miskin. Namun, paradoks ini masih terus terdengar dalam bentuk angka pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan perguruan tinggi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada tahun 2023, persentase pengangguran di Aceh masih berada di atas rata-rata nasional. Hal ini menjadi ironi yang menyedihkan karena Aceh diberkahi oleh sumber daya alam yang melimpah. Masalah utamanya adalah siklus ekonomi yang terlalu mengandalkan ekspor bahan mentah tanpa memperoleh nilai tambah yang cukup. Nelayan Aceh menangkap ikan, tetapi industri pengolahan dan pengalengan ikan modern masih minim. Petani kopi Gayo yang bijinya terkenal di dunia sering hanya menjual biji mentah tanpa bisa merasakan manfaat dari branding dan pemasaran produk jadi.
Visi Hilirisasi dan Industrialisasi
Dalam konteks ekonomi, visi hilirisasi dan industrialisasi berbasis sumber daya alam (SDA) dan kemaritiman tidak hanya sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga panggilan moral untuk mewujudkan keadilan. Di Aceh, panggilan ini memiliki landasan yang sangat kuat, yaitu Syariat Islam. Dalam pandangan syariah, sistem ekonomi harus adil dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Tujuan-tujuan syariah seperti perlindungan harta dan keturunan mencakup kesejahteraan serta lapangan kerja, yang merupakan tujuan fundamental dalam pembangunan ekonomi.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidaklah seseorang memakan satu makanan pun yang lebih baik daripada memakan hasil usahanya sendiri.” Hadis ini menekankan pentingnya kerja keras dan nilai tambah dalam proses produksi. Memasarkan biji kopi mentah adalah kerja, tetapi mengolahnya menjadi produk jadi yang berkualitas adalah usaha yang lebih baik dan memberikan keberkahan serta nilai lebih.
Peluang Aceh dalam Sektor Kelautan dan Perkebunan
Sektor kelautan dan perikanan menjadi tulang punggung ekonomi Aceh. Dengan garis pantai yang panjang sekitar 2.500 km, Aceh memiliki potensi perikanan tangkap dan budi daya yang besar. Industrialisasi maritim tidak hanya tentang menambah jumlah kapal, tetapi juga membangun industri hilir seperti pabrik es, cold storage, fillet ikan, pengalengan, tepung ikan, dan bahkan kosmetik berbasis rumput laut. Setiap unit industri ini akan menyerap tenaga kerja dari operator hingga tenaga pemasaran.
Komoditas perkebunan seperti kopi Gayo juga memiliki peluang besar. Meski kopi Gayo sudah mendunia, jumlah merek lokal Aceh yang menguasai pasar ekspor sebagai produk jadi masih sedikit. Hilirisasi kopi berarti mendirikan roasting house berstandar internasional, industri kemasan, dan pengembangan produk turunan seperti kosmetik kopi atau makanan ringan. Ini akan menciptakan ekosistem usaha baru dan menghentikan brain drain karena generasi muda melihat prospek ekonomi di kampung halaman.
Tantangan dan Peran Pemerintah
Tantangan yang dihadapi Aceh dalam proses hilirisasi termasuk permodalan, infrastruktur pendukung seperti listrik, jalan, dan internet, serta kemampuan manajerial dan teknologi. Di sinilah peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator menjadi krusial. Pemerintah Aceh harus mampu menciptakan iklim investasi yang menarik dan adil, tidak hanya untuk investor besar, tetapi juga untuk koperasi dan pelaku UMKM lokal sesuai prinsip ekonomi kerakyatan dalam Islam.
Peran Kritis Riset
Visi Engage EU (2020) menekankan bahwa riset dan perguruan tinggi harus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kampus-kampus di Aceh seperti Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, dan lainnya harus fokus pada riset yang relevan dengan isu hilirisasi. Misalnya, fakultas teknik dapat berinovasi dalam teknologi mesin pengolahan ikan dan pengering kopi yang sederhana dan murah untuk UMKM. Fakultas ekonomi dan bisnis dapat mengembangkan model bisnis berbasis syariah untuk industri hilir. Fakultas kelautan dan perikanan dapat melakukan riset budi daya lobster, kerrang, tiram, dan rumput laut yang berkelanjutan. Fakultas dakwah dan komunikasi dapat membantu membangun branding dan narasi berdasarkan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.
Kolaborasi dan Sinergi
Kolaborasi antara kampus, pemerintah, dan pelaku usaha (triple helix) adalah kunci keberhasilan. Program KKN Tematik harus difokuskan pada pendampingan hilirisasi di desa-desa pesisir dan perkebunan. Dosen dan mahasiswa harus turun langsung, bukan sebagai pengajar, tapi sebagai partner yang mendengar dan berinovasi bersama masyarakat.
Menuju Aceh Bermartabat
Hilirisasi SDA dan maritim berbasis syariat Islam adalah jalan menuju kedaulatan ekonomi Aceh. Strategi ini bertujuan memutus rantai ketergantungan dan mewujudkan keadilan yang inklusif. Lapangan kerja yang terbuka akan mengurangi pengangguran, yang pada gilirannya dapat menekan angka masalah sosial yang selama ini menjadi perhatian.
Proses ini adalah wujud nyata dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ekonomi yang tidak hanya mengejar keuntungan materiel, tetapi juga membangun peradaban yang memanusiakan manusia, menghargai sumber daya sebagai amanah, dan memastikan keberlangsungan untuk generasi mendatang.
Sudah waktunya Aceh bercermin pada kekayaannya sendiri. Laut dan Bumi Aceh sudah berkata 'ya'. Sekarang, saatnya kita semua, terutama pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat, bersinergi untuk menjawab 'ya' dengan kerja nyata, ilmu, dan iman. Hanya dengan begitu, keadilan ekonomi yang menjadi cita-cita bersama bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!