
Pentingnya Aksesibilitas Lampu Lalu Lintas untuk Seluruh Pengguna Jalan
Pemerhati transportasi Muhammad Akbar menilai bahwa lampu lalu lintas yang dapat dipahami oleh penyandang buta warna harus dianggap setara dengan rambu-rambu keselamatan lainnya. Hal ini penting karena aksesibilitas di ruang publik bukanlah bentuk kemurahan hati negara, melainkan hak dasar bagi setiap warga.
Akbar menjelaskan bahwa pembangunan jalan ramah difabel, seperti ramp untuk kursi roda, bukanlah fasilitas tambahan, melainkan syarat agar mereka bisa masuk dan beraktivitas. Dengan analogi serupa, lampu lalu lintas yang bisa “dibaca” oleh penyandang disabilitas visual menjadi prasyarat agar mereka bisa berpartisipasi dengan aman di jalan raya.
Ketika hak dasar ini diabaikan, dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penyandang buta warna merasa khawatir salah membaca isyarat lampu lalu lintas. Kekhawatiran tersebut membuat sebagian dari mereka enggan menyetir atau bahkan ragu untuk menyeberang jalan. Akibatnya, kesempatan mereka untuk bekerja, belajar, atau bersosialisasi sering kali terhambat.
Lebih jauh, rasa cemas dan tekanan mental yang harus ditanggung setiap kali berada di jalan raya menjadi bentuk ketidakadilan yang seharusnya bisa dihindari. Jalan raya mestinya memberi rasa aman bagi semua pengguna, bukan menambah beban bagi sebagian warganya.
Untuk memastikan prinsip ini berjalan, diperlukan langkah nyata dari pemerintah melalui regulasi dan kebijakan yang jelas.
Perhatian MK Terhadap Masalah Ini
Perhatian terhadap persoalan ini kini sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Putusan Nomor 149/PUU-XXIII/2025, majelis hakim menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, putusan itu justru memuat amanat penting. MK menegaskan bahwa pelaksanaan aturan tersebut harus memperhatikan keselamatan penyandang disabilitas visual.
Wakil Ketua MK Arsul Sani menyatakan bahwa hal ini berlaku bagi mereka yang mengalami buta warna parsial, dengan melengkapi sarana dan prasarana lalu lintas yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi mereka semua. Termasuk menyediakan alat pemberi isyarat lalu lintas yang mengakomodasi kebutuhan penyandang defisiensi penglihatan warna.
Putusan MK Nomor 149/PUU-XXIII/2025 mencakup:
- Perkara: Pengujian Materiil terhadap Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Pemohon: Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa (wartawan penyandang buta warna parsial).
- Pokok Permohonan: Menguji keabsahan sistem lampu lalu lintas (APILL) yang hanya mengandalkan warna, dinilai diskriminatif dan tidak menjamin keselamatan bagi penyandang disabilitas visual.
- Amar Putusan: Permohonan ditolak. Materi muatan ayat yang dimohonkan untuk diuji dinyatakan konstitusional.
- Pertimbangan Penting MK: Meski menolak permohonan, MK menegaskan bahwa implementasi UU wajib inklusif. Pemerintah harus mengakomodasi kebutuhan penyandang buta warna dalam kebijakan teknisnya.
- Implikasi Hukum: Putusan ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk segera menyusun dan merevisi peraturan teknis, standar nasional (SNI), serta menata ulang sarana lalu lintas yang aksesibel bagi semua.
Langkah Nyata untuk Mewujudkan Aksesibilitas
Putusan Mahkamah Konstitusi memang hanya bersifat pertimbangan, bukan perintah eksekusi. Namun, arah yang diberikan jelas. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan lampu lalu lintas dapat dipahami oleh semua warga, termasuk penyandang buta warna.
Revisi ini tidak mengubah warna atau urutan yang berlaku, melainkan menambahkan elemen bentuk, simbol, atau pola cahaya agar lebih mudah dibedakan. Langkah teknis tersebut bisa dilakukan tanpa harus mengubah UU. Sehingga, pemerintah pusat cukup menetapkan standar baru yang wajib diikuti daerah.
Setelah regulasi diperbarui, kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung dapat segera menyiapkan lokasi dan desain uji coba. Agar efektif, sosialisasi kepada masyarakat mutlak dilakukan. Sehingga, setiap pengendara memahami makna tambahan pada lampu lalu lintas yang baru.
Tanpa edukasi publik, inovasi apa pun berisiko menimbulkan kebingungan di jalan. Dengan langkah-langkah terencana ini, amanat MK tidak berhenti sebagai wacana, melainkan benar-benar terwujud dalam sistem lalu lintas yang lebih inklusif.
"Pertanyaannya, apakah penambahan simbol atau pola cahaya pada lampu lalu lintas sejalan dengan standar internasional? Di sinilah Konvensi Wina 1968 tentang Lalu Lintas Jalan relevan untuk dikaji," tandas dia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!