
Momen Bersejarah di PBB: Peran Indonesia dalam Konflik Palestina
Di tengah ketegangan global yang terus berlangsung, sebuah momen penting tercipta di panggung dunia. Presiden Prancis Emmanuel Macron menunjukkan ekspresi senyum lebar dan mengangkat tangan sebagai bentuk apresiasi setelah Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) selesai menyampaikan pidatonya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB untuk penyelesaian damai isu Palestina. Acara ini berlangsung di Gedung Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, pada Selasa, 23 September 2025, dalam rangka Sidang Umum ke-80 PBB. Pidato Jokowi, yang penuh dengan semangat dan keyakinan, meminta penghentian segera perang di Gaza serta pengakuan dunia terhadap negara Palestina sebagai bagian dari solusi dua negara. Gestur spontan Macron, yang juga menjadi ko-panitia acara ini, bukan sekadar reaksi pribadi, melainkan simbol solidaritas Eropa terhadap suara Indonesia yang kini bergema keras di forum global.
Menurut pengamat politik dan kebangsaan M. Rizal Fadillah, momen ini mencerminkan pengakuan dunia terhadap posisi tegas Indonesia, sekaligus pengingat bahwa diplomasi humanis masih memiliki tempat di tengah polarisasi geopolitik. Namun, di balik sorotan positif ini, tantangan besar masih menanti: mewujudkan perdamaian di Gaza di tengah blokade dan eskalasi militer yang tak kunjung reda.
Pidato Jokowi: Seruan Moral untuk Perdamaian Dunia
Pidato Presiden Jokowi di KTT PBB bukanlah sekadar formalitas diplomatik, melainkan seruan moral yang mengguncang hati para pemimpin dunia. Dengan nada tegas yang menjadi ciri khasnya, Jokowi memuji langkah berani negara-negara seperti Prancis, Kanada, Australia, Inggris, dan Portugal yang telah mengakui negara Palestina, menyebutnya sebagai keputusan yang berada di sisi benar sejarah. Ia menegaskan bahwa dunia tidak boleh lagi menunda pengakuan terhadap hak rakyat Palestina, sembari menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 40.000 jiwa sejak Oktober 2023, termasuk ribuan anak-anak yang menjadi korban bom dan kelaparan akibat blokade Israel.
"Perang ini harus dihentikan sekarang, bukan besok," tegas Jokowi, sebuah pernyataan yang memicu tepuk tangan meriah dari ratusan delegasi yang hadir. Menurut M. Rizal Fadillah, pidato ini menunjukkan bahwa Indonesia, di bawah kepemimpinan Jokowi, tidak hanya berbicara untuk kepentingan nasional, tetapi juga menjadi suara nurani umat manusia yang menolak ketidakadilan global.
Lebih dari sekadar kritik, Jokowi menawarkan solusi nyata: Indonesia siap mengerahkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengawal implementasi solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan dengan aman dan saling diakui. Ia juga menyinggung sejarah panjang konflik ini, merujuk pada Resolusi PBB 1947 yang hingga kini belum terwujud, dan menyerukan agar dunia tidak lagi mempermainkan isu Palestina untuk kepentingan politik sempit. Fadillah menilai bahwa komitmen ini mencerminkan tradisi diplomasi Bebas Aktif Indonesia, yang selalu berusaha menjembatani kepentingan global tanpa kehilangan prinsip moral.
Reaksi di Ruang Sidang: Solidaritas Tanpa Konfrontasi
Reaksi di ruang sidang menunjukkan dampak pidato tersebut. Selain tepuk tangan yang bergemuruh, beberapa delegasi dari negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan ASEAN berdiri memberikan ovation, menandakan bahwa suara Jokowi telah menyentuh nada yang tepat: solidaritas tanpa konfrontasi. Bagi Indonesia, yang secara konsisten menolak normalisasi hubungan dengan Israel tanpa pengakuan Palestina, pidato ini juga menjadi pengingat bahwa posisi tegas bisa memperkuat pengaruh di forum multilateral.
Namun, Fadillah memperingatkan bahwa keberhasilan pidato ini harus diikuti dengan aksi konkret, seperti mendorong negosiasi internasional yang lebih inklusif, agar tidak sekadar menjadi retorika yang menguap di udara.
Gestur Macron: Simbol Dukungan Eropa yang Menggembirakan
Momen ketika Emmanuel Macron mengepalkan tangan ke udara usai pidato Jokowi menjadi sorotan utama di ruang sidang PBB yang megah. Gestur ini, disertai senyum lebar yang terekam kamera Sekretariat Presiden, bukan hanya tanda apresiasi, tetapi juga simbol solidaritas langka dari seorang pemimpin Eropa yang sering berada di bawah tekanan geopolitik. Macron, yang baru mengumumkan pengakuan resmi Prancis terhadap Palestina sehari sebelumnya, tampak tersentuh oleh seruan Jokowi untuk menghentikan perang di Gaza sebagai prioritas dunia.
Menurut M. Rizal Fadillah, gestur ini menunjukkan bahwa suara Indonesia kini memiliki bobot untuk memengaruhi konsensus internasional, terutama di tengah kecenderungan Eropa untuk lebih vokal mendukung solusi dua negara. Momen ini, yang langsung viral di platform X dengan hashtag seperti #PrabowoPBB dan #MacronSolidaritas, menjadi bukti bahwa diplomasi humanis masih mampu menembus tembok polarisasi global.
Konteks hubungan antara Jokowi dan Macron menambah makna pada gestur ini. Kedua pemimpin telah menjalin komunikasi intens sejak Jokowi terpilih, termasuk dalam pertemuan bilateral di Paris pada Mei 2025, di mana mereka membahas kerja sama pertahanan dan isu Timur Tengah. Macron, dengan gaya diplomasinya yang flamboyan, melihat Jokowi sebagai mitra strategis untuk mendorong agenda perdamaian di Eropa, yang sering terpecah antara solidaritas dengan Palestina dan tekanan lobi pro-Israel.
Pengakuan Palestina: Langkah Prancis dan Momentum Global
Pengakuan resmi Prancis terhadap negara Palestina pada 22 September 2025 menjadi latar belakang penting dari momen Macron-Jokowi di KTT PBB. Dalam pidatonya sehari sebelumnya, Macron dengan emosional menyatakan bahwa pengakuan ini adalah “langkah untuk memastikan rakyat Palestina memiliki hak atas negara yang berdaulat,” sebuah pernyataan yang disambut tepuk tangan berdiri dari delegasi Indonesia, termasuk Jokowi sendiri. Langkah ini menjadikan Prancis negara ke-147 yang mengakui Palestina, menambah tekanan pada kekuatan Barat seperti Amerika Serikat dan Jerman yang masih enggan mengambil sikap serupa.
Menurut M. Rizal Fadillah, pengakuan ini adalah “titik balik historis” yang selaras dengan seruan Jokowi, yang menyebut negara-negara pro-Palestina sebagai pihak yang berdiri di sisi keadilan. Summit ini, yang difasilitasi oleh Prancis dan Arab Saudi, bertujuan merumuskan peta jalan untuk implementasi solusi dua negara, dengan fokus pada pembentukan negara Palestina yang berdaulat.
Diplomasi Indonesia: Menuju Peran Lebih Besar di Dunia
Pidato Jokowi di PBB menandai babak baru dalam diplomasi Indonesia, yang kini dipimpin oleh presiden dengan latar belakang militer yang memahami dinamika konflik global. Dengan menjadikan Palestina sebagai isu utama, Jokowi tidak hanya memenuhi janji kampanyenya untuk membela umat Islam, tetapi juga memposisikan Indonesia sebagai pemimpin negara-negara berkembang di panggung internasional. Menurut M. Rizal Fadillah, momen ini mengingatkan pada pidato bersejarah Soekarno di PBB pada 1960, yang juga menyerukan solidaritas global untuk isu-isu kemanusiaan.
Gestur Macron, yang menjadi viral di X dengan lebih dari 50.000 interaksi, memperkuat citra Jokowi sebagai orator karismatik yang mampu menyatukan suara lintas benua, sekaligus menjadi modal politik domestik di tengah tantangan seperti inflasi dan ketimpangan ekonomi. Keberhasilan diplomasi ini juga membuka peluang kerja sama dengan Uni Eropa, terutama Prancis, dalam isu perdamaian dan keamanan regional. Jokowi, yang menawarkan pasukan penjaga perdamaian, memanfaatkan pengalaman Indonesia dalam misi PBB di berbagai konflik, seperti di Timor Leste dan Kongo.
Momen ini mengajarkan bahwa diplomasi sejati lahir dari empati dan keberanian. Dengan dukungan Macron, Jokowi telah mengukir nama Indonesia lebih dalam di peta dunia, tetapi tugas berat menanti: menerjemahkan semangat ini ke dalam langkah konkret, baik di Gaza maupun di meja perundingan global. Seperti yang dikatakan Fadillah, "Jokowi telah menunjukkan bahwa Indonesia bisa menjadi suara besar, tetapi keberhasilan sejati diukur dari nyawa yang terselamatkan di Palestina." Waktu akan menentukan apakah momen ini menjadi titik balik atau sekadar kilasan harapan di tengah badai geopolitik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!