
Kebijakan Likuiditas dan Dampaknya pada Perbankan
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menambahkan likuiditas senilai Rp200 triliun ke perbankan telah memberikan dampak yang nyata kepada nasabah. Salah satu contohnya adalah pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea, yang mengeluhkan penurunan bunga depositonya. Menurut Purbaya, saat Hotman memperpanjang depositonya, bunga yang diterimanya turun, sehingga membuatnya merasa rugi.
Purbaya menjelaskan bahwa penurunan bunga deposito dapat mendorong nasabah untuk lebih aktif dalam menggunakan uang mereka. Dengan begitu, uang tersebut akan digunakan untuk belanja atau konsumsi, yang akhirnya menciptakan efek multiplier yang jauh lebih besar dibanding hanya menyimpan uang di bank. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah agar nasabah kembali berbelanja, sehingga perekonomian bisa berjalan lebih baik.
Dari data Analisis Uang Beredar BI Agustus 2025, simpanan berjangka atau deposito mencapai Rp3.296,6 triliun, meningkat sebesar 5,4% dibanding tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat masih rajin menyimpan uang di bank. Namun, terdapat perbedaan antara jenis nasabah. Nasabah korporasi menjadi yang paling banyak menyimpan dana dalam bentuk deposito, dengan jumlah mencapai Rp1.724 triliun, tumbuh 11,6% secara year on year. Sementara itu, deposito perorangan justru turun 1,6% menjadi Rp1.424,6 triliun.
Tabel berikut menunjukkan rincian simpanan berjangka Agustus 2025:
| Debitur | Deposito (triliun) | Pertumbuhan YoY (%) | |---------|---------------------|----------------------| | Korporasi | 1.724 | 11,6 | | Perorangan | 1.424,6 | -1,6 | | Lainnya | 148 | 9,1 | | Total | 3.296,6 | 5,4 |
Dari sisi kredit, pertumbuhan kredit perbankan mengalami pelemahan dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun demikian, ada indikasi optimis bahwa laju kredit pada Juli dan Agustus 2025 mengalami peningkatan. BI mencatat bahwa pada Agustus 2025, kredit perbankan naik sebesar 7% atau senilai Rp7.966,1 triliun. Kenaikan ini didorong oleh kredit korporasi sebesar Rp4.357,3 triliun (tumbuh 9,9%), kredit perorangan Rp3.541,9 triliun (tumbuh 3,6%), serta kredit lainnya sebesar Rp67 triliun (tumbuh 10,3%).
Namun, jika dibandingkan dengan Agustus 2024, pertumbuhan kredit lebih tinggi. Misalnya, kredit korporasi pada Agustus 2024 tumbuh 15,7%, sedangkan pada Agustus 2025 hanya sebesar 9,9%. Demikian juga dengan kredit perorangan, yang pada Agustus 2024 tumbuh 5,7%, tetapi pada Agustus 2025 hanya mencapai 3,6%.
Sikap Pengusaha yang Masih Wait and See
Penurunan pertumbuhan kredit dan semakin besar deposito korporasi di perbankan tampaknya tidak sejalan dengan kebijakan moneter BI yang terus menerapkan suku bunga acuan yang rendah. Sejak September 2024, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 bps. Pada September 2025, BI Rate kembali diturunkan sebesar 25 bps menjadi 4,75%, yang merupakan angka terendah sejak Oktober 2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa transmisi kebijakan bank sentral ini ke tingkat perbankan masih lambat. Ia menyebut pertumbuhan kredit perlu didorong lagi, meskipun terjadi peningkatan dari 7,03% pada Juli 2025 menjadi 7,56% pada Agustus 2025.
Selain itu, permintaan kredit belum terpacu karena sikap pengusaha yang masih menunggu atau wait and see. Para pelaku usaha lebih memilih menggunakan dana internal daripada mengajukan pembiayaan ke bank untuk ekspansi bisnis. Akibatnya, fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) tercatat cukup besar, yaitu sebesar Rp2.372,1 triliun, dengan rasio terhadap plafon kredit mencapai 22,7%.
Tantangan dan Peluang di Sektor Kredit
Meski pertumbuhan kredit mengalami pelemahan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa tambahan likuiditas senilai Rp200 triliun bukan jaminan pertumbuhan kredit akan melejit. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengingatkan bahwa penyaluran kredit tetap bergantung pada permintaan dunia usaha, prospek pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan faktor eksternal lain.
Namun, Dian mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan dana negara untuk mendukung perbankan dan perekonomian nasional. Penempatan dana tersebut dapat menurunkan biaya dana dan suku bunga kredit, tetapi perbankan tetap diminta untuk menyalurkan dana secara produktif dan menerapkan manajemen risiko ketat.
Data OJK per Juli 2025 menunjukkan bahwa likuiditas perbankan masih kuat. Rasio AL/NCD (aset likuid terhadap dana jangka pendek) mencapai 119,43%, jauh di atas batas minimal 50%. Sementara itu, rasio AL/DPK (aset likuid terhadap total dana masyarakat) berada di 27,09%, juga lebih tinggi dari ambang batas 10%. Angka-angka ini menandakan bahwa bank memiliki cadangan kas yang cukup untuk menghadapi penarikan dana mendadak.
Loan to deposit ratio (LDR), yang menunjukkan jumlah kredit yang disalurkan dibanding total dana simpanan, tercatat sebesar 86,54%. Angka ini menunjukkan bahwa bank masih memiliki ruang untuk memperbesar kredit. Secara tahunan, kredit perbankan tumbuh 7,03%, didorong oleh pinjaman ke korporasi yang naik 9,59%. Kenaikan terbesar terlihat pada pinjaman rumah tangga seperti KPR dan kredit kendaraan, yang meningkat 8,39%, serta kredit industri pengolahan yang tumbuh 5,59%.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!