
Kehidupan Warga Terjebak dalam Sengketa Tanah yang Berlarut
Di lereng pegunungan hijau subur Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kehidupan ribuan warga dua desa kecil—Sukaharja dan Sukamulya—kini tergantung pada selembar kertas pengadilan dari era 1990-an. Tanah warisan leluhur yang selama puluhan tahun menjadi sumber nafkah tiba-tiba saja dipasangi plang penyitaan oleh Kejaksaan Agung, gara-gara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan seorang pengusaha bernama Lee Dharmawan alias Lee Chian Kiat. Sejak Juni 2022, akses administratif pertanahan lumpuh total: tak ada lagi pembaruan SPPT, pembayaran pajak PPh atau BPHTB, bahkan pengurusan sertifikat pun mandek. Ini bukan sekadar urusan kertas; ini soal hak hidup lebih dari 8.000 jiwa yang kini terperangkap dalam labirin birokrasi dan sengketa lama, di mana lahan seluas ratusan hektare diklaim sebagai aset terpidana, padahal warga bersikukuh tak pernah menjual sedikit pun tanah mereka ke pihak luar.
Latar Belakang Sengketa Tanah BLBI yang Mengakar Dalam
Kasus BLBI sendiri adalah salah satu luka terdalam dari krisis moneter 1998, ketika pemerintah membiayai likuidasi bank-bank bermasalah dengan dana triliunan rupiah, yang kini ditaksir kerugian negara mencapai Rp138 triliun. Lee Dharmawan, mantan Direktur Bank Perkembangan Asia (BPA) pada 1979-1984, menjadi salah satu terpidana utama dalam skandal ini, divonis berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1622 K/Pid.Sus/1991 atas tuduhan penyelewengan dana. Ironisnya, lahan-lahan yang kini jadi sorotan ini justru terlibat jauh sebelum era reformasi, tepatnya sejak 1983, ketika ratusan surat girik desa diterbitkan atas nama pribumi setempat, menandai awal konflik kepemilikan yang kian rumit seiring waktu. Warga Sukaharja dan Sukamulya, yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun, tak pernah menduga tanah mereka akan terseret ke pusaran kasus nasional seperti ini, di mana aset terpidana dijadikan jaminan utang ke bank, dan akhirnya disita negara untuk pemulihan kerugian.
Sengketa yang Semakin Kusut
Sengketa ini semakin kusut ketika pihak swasta mengklaim kepemilikan atas lahan yang sebenarnya hanya sekitar 80 hektare, tapi entah bagaimana membengkak menjadi 420 hingga 445 hektare dalam daftar penyitaan Kejaksaan Agung. Data desa menunjukkan bahwa wilayah Sukaharja saja mencakup 3.650 hektare dengan 8.323 penduduk dari lebih 2.700 keluarga, sementara Sukamulya tak kalah luas dan padat. Proses penyitaan dimulai dengan pemasangan plang di berbagai titik sejak 2022, termasuk area yang secara administratif milik Pemerintah Kabupaten Bogor, seperti rencana pemakaman umum seluas 20 hektare. Ini bukan hanya soal batas tanah; ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam verifikasi klaim aset BLBI, di mana dokumen lama dari era Orde Baru sering kali bertabrakan dengan realitas lapangan yang sudah berubah puluhan tahun kemudian, meninggalkan warga biasa sebagai korban tak bersalah di tengah upaya negara mengejar aset koruptor.
Lebih Dalam Lagi: Kronologi Kasus BLBI
Lebih dalam lagi, kronologi kasus ini berawal dari sengketa lahan warisan BLBI, di mana Lee Dharmawan diduga menggunakan tanah tersebut sebagai agunan pinjaman ke bank, yang kemudian gagal bayar dan berujung penyitaan. Menurut catatan historis, konflik pertanahan di Sukamakmur sudah muncul sejak 1983, ketika surat-surat girik desa diterbitkan secara massal untuk melindungi hak pribumi, tapi justru dimanfaatkan oleh pihak luar untuk klaim lebih luas. Hingga kini, 37 blok SPPT di Sukaharja semuanya diblokir, meski hanya tiga blok (16, 17, dan 27) yang benar-benar terkait langsung dengan aset BLBI. Situasi serupa menimpa Sukamulya, di mana warga merasa proses penyitaan dilakukan sepihak tanpa sosialisasi memadai, membuat mereka kehilangan arah di tengah ketidakpastian yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade.
Dampak Mendesak bagi Kehidupan Sehari-hari Warga
Bayangkan ketakutan seorang petani seperti Andika, warga Sukaharja biasa yang bangun pagi untuk menyirami sawahnya, tiba-tiba mendapati namanya tercantum dalam peta pemblokiran tanpa pernah menjual tanah sedikit pun. "Pemasangan plang itu datang begitu saja, seperti badai yang tak terduga," ceritanya dengan suara parau, sambil menunjuk plang besi berkarat di pinggir jalan desa. Sejak blokir administratif diterapkan, ia tak bisa memperbarui SPPT, menjual lahan untuk biaya sekolah anak, atau bahkan mengurus sertifikat untuk pinjaman usaha kecil. Ini bukan cerita satu orang; ribuan keluarga di dua desa ini kini terjebak dalam kebuntuan birokrasi, di mana kantor desa sendiri tak berdaya karena sistem pertanahan nasional membekukan akses mereka, mulai dari transaksi jual beli hingga pembayaran pajak tahunan.
Dampak yang Merambat ke Seluruh Aspek Kehidupan
Dampaknya merembet ke seluruh aspek kehidupan sosial-ekonomi. Sekretaris Desa Sukaharja, Adi Purwanto, menggambarkan bagaimana desanya lumpuh sejak Juni 2022: "Kami tak bisa layani kebutuhan dasar pertanahan, dari balik nama hingga BPHTB—semua terhenti." Penduduk yang mayoritas bergantung pada pertanian padi, sayur, dan buah-buahan kini kesulitan mengakses kredit bank karena tak punya bukti kepemilikan yang valid, yang berujung pada penurunan produksi dan pendapatan rumah tangga. Di Sukamulya, kondisi tak berbeda; warga yang dulu bisa menjual hasil panen untuk biaya hidup kini harus berpikir dua kali, takut tanah mereka hilang begitu saja. Belum lagi, anak-anak muda desa mulai migrasi ke kota karena prospek masa depan di kampung halaman terasa suram, meninggalkan generasi tua yang setia tapi kelelahan berjuang sendirian.
Penyitaan yang Tak Pandang Bulu
Yang lebih menyedihkan, penyitaan ini tak pandang bulu, bahkan menyentuh aset publik. Lahan 20 hektare milik Pemkab Bogor, yang sudah direncanakan sebagai pemakaman umum untuk melayani kebutuhan mendesak warga setempat, kini juga dipasangi plang sitaan meski secara legal jelas milik pemerintah daerah. Ini bukan hanya soal tanah; ini mengganggu layanan dasar seperti pengelolaan jenazah, yang bisa memicu krisis kemanusiaan di desa-desa yang sudah padat. Warga seperti Andika menambahkan, "Seharusnya hanya titik sengketa yang diblokir, bukan seluruh desa. Ini sudah keterlaluan, dan kami merasa seperti tahanan di tanah sendiri."
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!