
Pergerakan Rupiah dan IHSG yang Tidak Biasa
Nilai tukar rupiah saat ini menunjukkan tren pelemahan, seiring dengan arus keluar dana asing atau capital outflow. Namun, di sisi lain, indeks harga saham gabungan (IHSG) terus mencatatkan rekor tertinggi. Hal ini menunjukkan dinamika pasar keuangan domestik yang tidak biasa.
Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, mengungkapkan bahwa saat ini kondisi pasar keuangan sedang mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di satu sisi, rupiah terus tertekan dan terjadi capital outflow. Di sisi lain, yield obligasi negara justru turun, sementara IHSG terus melesat. Menurutnya, situasi ini tidak seperti biasanya.
Rully menyebutkan bahwa respons otoritas moneter tampak lebih longgar. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) cenderung membiarkan rupiah berfluktuasi dalam kisaran antara Rp 16.000 hingga Rp 16.900. Meski begitu, tekanan terhadap rupiah masih akan terus berlanjut dalam jangka pendek, terutama jika sinyal kebijakan The Fed tidak lebih dovish dari yang diharapkan pasar.
Penguatan IHSG yang Didorong oleh Saham-Saham Tertentu
Penguatan IHSG sejauh ini sebagian besar disumbang oleh saham-saham tertentu yang termasuk dalam kategori growth stock atau saham-saham berorientasi pertumbuhan tinggi. Beberapa saham seperti DCII, DSSA, BRPT, dan MLPT menjadi kontributor dominan terhadap lonjakan indeks. Jika tidak ada saham-saham tersebut, IHSG mungkin masih berada di kisaran bawah 7.500.
Menurut Rully, penguatan IHSG ini menunjukkan bahwa investor lebih percaya pada saham-saham yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi. Meskipun demikian, ia tetap waspada terhadap risiko yang muncul akibat pelemahan rupiah dan ketidakstabilan pasar global.
Prediksi Kebijakan The Fed dan Dampaknya terhadap Pasar
Sementara itu, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan bahwa The Federal Reserve (The Fed) memberi sinyal akan ada dua penurunan suku bunga tambahan sebelum akhir tahun ini. Pernyataan ini tentu akan menjadi sentimen pasar. Hal ini mencerminkan kekhawatiran yang meningkat terhadap kondisi ketenagakerjaan di AS.
The Fed juga menyebutkan bahwa aktivitas ekonomi mengalami moderasi, pertumbuhan lapangan kerja melambat, dan inflasi kembali naik. Selain itu, ketidakpastian terhadap prospek ekonomi masih tinggi, dengan risiko penurunan di sektor ketenagakerjaan yang meningkat.
Bank sentral AS ini merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2025 menjadi 1,6 persen dari sebelumnya 1,4 persen di Juni lalu. Untuk 2026, suku bunga acuan diperkirakan turun lebih dalam dari proyeksi sebelumnya. Namun inflasi justru lebih tinggi.
Asmo menilai hal ini menunjukkan kemungkinan terjadinya soft landing dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan tren inflasi yang menurun. Ia juga menegaskan bahwa kekhawatiran terhadap inflasi akibat kebijakan perdagangan mulai mereda, dan kini fokus lebih tertuju pada perlambatan ekonomi dan potensi kenaikan pengangguran.
Dampak Penurunan Suku Bunga The Fed terhadap Rupiah dan Obligasi
Pemangkasan suku bunga The Fed diharapkan memberikan dukungan jangka pendek bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Untuk Indonesia, nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 16.400-Rp 16.500 per USD. Imbal hasil obligasi pemerintah juga berpotensi turun ke kisaran 6,25-6,35 persen, seiring dengan turunnya imbal hasil obligasi AS.
Pada perdagangan Senin (22/9), nilai tukar rupiah melemah 0,10 persen ke level Rp 16.605 per USD. Dengan demikian, mengalami depresiasi 3,12 persen secara year-to-date (YtD). Asmo menilai tekanan terhadap rupiah masih akan terus membayangi dalam jangka pendek, terutama jika sinyal kebijakan The Fed tidak lebih dovish dari yang diharapkan pasar.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!