ADB Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Jadi 4,9%

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Kawasan Asia-Pasifik Dikurangi oleh ADB

Asian Development Bank (ADB) baru-baru ini mengumumkan perubahan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 dan 2026. Dalam laporan terbarunya, ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 5% menjadi 4,9% pada 2025. Sementara itu, proyeksi untuk tahun depan juga direvisi, yaitu dari 5,1% menjadi 5%.

Pengurangan proyeksi ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpastian perdagangan global yang meningkat. Khususnya, tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat telah memengaruhi perekonomian negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik. Hal ini juga berdampak pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selain itu, ADB juga menurunkan proyeksi inflasi di Indonesia. Pada 2025, inflasi diperkirakan mencapai 1,7%, turun dari sebelumnya 2%. Sementara untuk 2026, inflasi tetap diproyeksikan di level 2%. Perbedaan antara proyeksi ADB dan asumsi pemerintah Indonesia terlihat jelas. Dalam APBN 2025, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%, sedangkan untuk 2026, angka tersebut ditetapkan di level 5,4%.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Asia-Pasifik

Dalam laporan edisi September 2025, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik hanya sebesar 4,8% pada 2025 dan 4,5% pada 2026. Angka ini lebih rendah dibandingkan prakiraan April sebesar 4,9% dan 4,7%.

Kepala Ekonom ADB, Albert Park, menyatakan bahwa tingginya tarif Amerika Serikat dan ketidakpastian perdagangan global masih menjadi tantangan utama. Ia menekankan pentingnya pengelolaan makroekonomi yang kuat serta integrasi regional yang lebih dalam.

Meskipun proyeksi pertumbuhan China tidak berubah, yaitu 4,7% pada 2025 dan 4,3% pada 2026, ADB tetap melihat risiko dari pasar properti yang lemah dan tarif tinggi. Namun, dukungan kebijakan diharapkan bisa meredam dampaknya.

India mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan akibat tarif baru yang diberlakukan AS sejak Agustus. Pertumbuhan ekonomi India kini diperkirakan sebesar 6,5% pada 2025–2026, turun dari sebelumnya masing-masing 6,7% dan 6,8%.

Subkawasan Asia Tenggara mengalami koreksi proyeksi terbesar. Pertumbuhan ekonomi 2025 dan 2026 dipatok di level 4,3%, turun 0,4 poin persentase dari sebelumnya. Faktor utamanya adalah pelemahan permintaan global dan naiknya ketidakpastian perdagangan.

Proyeksi Ekonomi Negara-Negara Lain

Di kawasan ini, Vietnam dan Filipina menjadi dua negara yang diproyeksikan pertumbuhannya lebih tinggi dari Indonesia. ADB meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Vietnam dari 6,6% menjadi 6,7% pada 2025, sementara untuk 2026 turun dari 6,5% menjadi 6%.

Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Filipina turun dari 6% menjadi 5,6% pada 2025, dan dari 6,1% menjadi 5,7% pada 2026.

Untuk wilayah Kaukasus dan Asia Tengah, proyeksi pertumbuhan 2025 naik tipis menjadi 5,5%, namun untuk 2026 turun menjadi 4,9% karena penurunan produksi minyak dan gas. Di Pasifik, pertumbuhan 2025 direvisi naik menjadi 4,1% berkat kinerja pertambangan, tetapi proyeksi 2026 dipangkas menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,6%.

Risiko Eksternal yang Mengancam

ADB juga mengingatkan adanya risiko eksternal yang membayangi kawasan. Ini termasuk ketidakpastian kebijakan dagang AS, potensi tarif sektoral untuk semikonduktor dan farmasi, serta negosiasi perdagangan AS-Tiongkok yang belum selesai. Ketegangan geopolitik, prospek pasar properti Tiongkok, dan volatilitas pasar keuangan dapat memperburuk outlook ekonomi kawasan.