
RAPBN 2026 Dianggap Menunjukkan Keseimbangan Fiskal yang Baik, Tapi Masih Ada Celah yang Perlu Diperbaiki
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dianggap sebagai langkah penting dalam menjaga stabilitas fiskal sambil tetap memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pandangan ini disampaikan oleh Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, seorang akademisi dan analis ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus). Ia menilai bahwa penentuan defisit sebesar 2,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kehati-hatian fiskal dan agenda pemulihan ekonomi.
Menurut Riza, arah belanja negara yang lebih ekspansif dibanding tahun sebelumnya memiliki potensi untuk memberikan energi baru bagi perekonomian. Hal ini sangat penting mengingat situasi konsumsi rumah tangga dan investasi swasta yang belum sepenuhnya pulih. Dorongan dari belanja pemerintah diharapkan menjadi katalis untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi.
Jika realisasi belanja tersebut dapat dikelola secara tepat dan efisien, peluang percepatan pemulihan ekonomi akan semakin besar. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada kegiatan riil, tetapi juga memperkuat likuiditas di sektor keuangan nasional. Riza menambahkan bahwa pemerintah telah menunjukkan fokus pada bidang-bidang strategis seperti pembangunan infrastruktur, program perlindungan sosial, serta sektor produktif lainnya. Langkah ini dianggap sebagai tanda positif untuk menopang pertumbuhan jangka menengah.
Namun, di balik optimisme tersebut, Riza juga menyoroti beberapa kelemahan dan tantangan yang masih ada dalam RAPBN 2026. Salah satu isu utama adalah kecenderungan sentralisasi fiskal, di mana terjadi peningkatan belanja pemerintah pusat sekitar 16,1 persen, sementara transfer ke daerah justru mengalami penurunan drastis sebesar 29,3 persen. Kondisi ini berpotensi mengurangi ruang gerak pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan warganya dan berisiko menimbulkan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Selain itu, Riza mengingatkan bahwa beban bunga utang negara yang semakin meningkat bisa menjadi tekanan tersendiri. Jika tidak dikendalikan, ruang fiskal yang seharusnya dialokasikan untuk program produktif maupun kesejahteraan masyarakat justru akan tersedot untuk pembayaran bunga utang. Hal ini perlu mendapat perhatian serius agar tidak mengganggu prioritas-prioritas penting dalam anggaran.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen juga dinilai cukup menantang. Berbagai faktor seperti ketidakpastian global, lemahnya konsumsi rumah tangga, tekanan inflasi, dan gejolak harga komoditas menjadi variabel yang sulit diatasi. Riza menekankan pentingnya kehati-hatian dalam langkah efisiensi. Pemotongan anggaran yang tidak terarah justru dapat berdampak negatif terhadap investasi jangka panjang maupun kualitas layanan publik.
Masih ada isu lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu minimnya perhatian terhadap sektor lingkungan. Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa anggaran untuk perlindungan lingkungan justru berkurang sekitar 4,6 persen, sebuah ironi di tengah maraknya krisis iklim dan bencana ekologis. Selain itu, meningkatnya alokasi pada pos “belanja lainnya” dalam RAPBN 2026 juga menjadi sorotan. Kurangnya kejelasan dan transparansi pada pos tersebut dapat menimbulkan tanda tanya besar terkait efektivitas maupun akuntabilitas penggunaan dana negara.
Meski demikian, Riza tetap menilai bahwa RAPBN 2026 sudah menunjukkan niat pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara dorongan pertumbuhan dan kehati-hatian fiskal. Hanya saja, ia menegaskan bahwa rancangan ini masih jauh dari sempurna. Beberapa hal yang perlu segera diperbaiki antara lain memastikan alokasi untuk daerah tidak menyusut terlalu dalam, mengelola utang agar tidak menggerus belanja produktif, meningkatkan transparansi penggunaan anggaran, serta memberikan perhatian yang lebih besar pada isu lingkungan dan keberlanjutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!