
Kehidupan Anak Muda di Tengah Arus Digital
Di tengah derasnya arus digital, kehidupan anak muda sekarang tidak bisa lepas dari media sosial. Instagram, TikTok, X, hingga YouTube sudah menjadi bagian penting dari keseharian. Bangun tidur yang pertama dicari bukan sarapan, tapi notifikasi. Mau tidur, yang dicek terakhir kali? Lagi-lagi timeline. Sosial media seolah jadi cermin kehidupan, tempat kita membagikan cerita, pencapaian, bahkan keluhan.
Namun, tidak sedikit juga yang merasa apa yang ditampilkan di layar jauh berbeda dengan realita. Foto liburan estetik, outfit branded atau story nongkrong di cafe hits hanyalah bagian kecil yang dipoles sedemikian rupa. Di balik itu, ada cerita yang tidak selalu manis: uang jajan yang menipis, tugas sekolah atau kuliah yang menumpuk, bahkan tekanan batin yang nggak pernah diunggah. Sosmed hanya menampilkan sisi terbaik, sedangkan realita menyimpan cerita utuh yang seringkali tidak sempurna.
Fenomena inilah yang membuat banyak anak muda terjebak antara ingin terlihat keren di sosmed dan hidup apa adanya di dunia nyata.
Gengsi yang Jadi Tren
Salah satu alasan kenapa banyak anak muda tampil berbeda di sosmed adalah gengsi. Ada semacam tekanan tak tertulis kalau tidak update, takut dianggap ketinggalan tren. Kalau tidak tampil keren, takut tidak dianggap gaul. Tren gengsi ini akhirnya membuat banyak anak muda merasa harus selalu tampil “wah”. Ada yang rela meminjam barang branded teman demi foto OOTD. Ada juga yang memaksakan diri ikut nongkrong padahal dompet tipis, hanya demi story bareng teman. Seolah-olah, eksistensi seseorang diukur dari seberapa keren feed mereka.
Tekanan Sosial Media
Fenomena pamer gaya hidup hedon di sosmed ini ternyata punya dampak serius. Banyak yang jadi merasa hidupnya tidak cukup menarik. “Kok mereka bisa liburan terus, ya?” atau “Kenapa aku tidak punya barang kayak gitu?”. Riset dari berbagai lembaga juga menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan bisa memicu perasaan minder, cemas, hingga depresi. Hal ini disebabkan karena kita terus membandingkan diri dengan orang lain yang hanya menampilkan highlight hidupnya.
Tekanan ini membuat banyak anak muda akhirnya berusaha keras mengejar gaya hidup yang sebenarnya tidak realistis. Akhirnya, bukan bahagia yang didapat, tapi justru capek dan merasa hampa.
Sosmed Bukan Musuh
Meski sering bikin terjebak ilusi, sosmed sebenarnya bukan musuh. Semua kembali lagi pada bagaimana cara kita menggunakannya. Sosmed bisa jadi tempat untuk berkarya, membangun relasi, bahkan menyalurkan hobi. Banyak anak muda yang berhasil menemukan peluang dari dunia maya, mulai dari jualan online, bikin konten edukasi, sampai jadi influencer yang memberi inspirasi.
Kuncinya adalah sadar bahwa apa yang terlihat di layar bukanlah keseluruhan cerita. Dengan begitu, kita bisa menikmati sosmed tanpa merasa harus terus membandingkan diri.
Kembali ke Diri Sendiri
Hal terpenting yang sering dilupakan anak muda adalah hidup nyata lebih penting dari sekadar konten. Kamu tidak perlu memaksakan diri buat selalu tampil sempurna hanya demi validasi dari likes atau komentar. Coba tanyakan pada diri sendiri apakah kamu benar-benar bahagia melakukan itu, atau hanya karena ingin dilihat orang lain? Kalau jawabannya yang kedua, mungkin sudah saatnya kamu mengambil jeda sejenak.
Menjadi diri sendiri bukan berarti tidak boleh eksis di sosmed. Tapi, eksistensi itu harus datang dari hal yang benar-benar kamu sukai, bukan dari tekanan atau perasaan gengsi. Dengan begitu, kamu bisa lebih jujur pada diri sendiri sekaligus nyaman dengan hidup yang dijalani.
Jangan sampai terjebak dalam filter dan caption, sampai lupa sama kisah asli yang sedang kamu jalani. Karena pada akhirnya, dunia maya hanyalah panggung sementara, sementara hidup nyata adalah cerita yang akan kamu bawa selamanya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!