
Penunjukan Anggito Abimanyu sebagai Ketua LPS Mengundang Kritik
Penunjukan Anggito Abimanyu sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menarik perhatian dari berbagai pihak, termasuk para ekonom. Salah satunya adalah Fadhil Hasan, seorang ekonom senior dari Indef. Ia mengungkapkan kekhawatiran terkait mekanisme penunjukan yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya dilalui.
Menurut Fadhil, Anggito ditunjuk untuk posisi tersebut, tetapi prosesnya memunculkan pertanyaan karena tidak melalui seleksi yang biasa dilakukan. Ia menilai bahwa penunjukan ini bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola institusi keuangan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah dan DPR seharusnya mengikuti aturan yang sudah ada dalam pemilihan dewan komisioner LPS. Jika tidak, maka proses pemilihan harus diulang agar semua calon memiliki kesempatan yang sama.
“Ini menjadi preseden yang kurang baik. Artinya, baik pemerintah maupun DPR menyimpang dari aturan yang berlaku dalam pemilihan dewan komisioner LPS. Seharusnya proses pemilihannya diulang lagi dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengikuti proses seleksi sejak awal,” ujarnya.
Anggito resmi menggantikan Purbaya Yudhi Sadewa, yang kini menjabat sebagai Menteri Keuangan. Dalam kepemimpinannya, LPS mengelola aset sekitar Rp320 triliun. Setelah diangkat sebagai Ketua DK LPS, Anggito menjelaskan bahwa pencalonannya bukanlah dorongan pribadi, melainkan amanat langsung dari Purbaya. Namun, ia juga menyampaikan bahwa ada obsesi pribadinya yang ingin terwujud.
“Saya punya obsesi, jadi itu tersimpan di bawah kepala sadar saya. Ketika Pak Purbaya menyampaikan kepada saya, saya ditugaskan untuk menjadi calon di LPS, saya bersedia,” kata Anggito.
Ia merancang enam program utama untuk memperkuat LPS, yaitu:
- Peningkatan kompetensi manajemen aset
- Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)
- Perluasan media sosial
- Efisiensi beban SDM per dana kelolaan
- Kegiatan sosial kemasyarakatan
- Digitalisasi proses bisnis
Selain itu, Anggito menekankan pentingnya integrasi data antarotoritas. “Kunci utamanya adalah integrasi data. Data harus dibagikan. Saya pikir kunci yang paling penting adalah bagaimana pertukaran data secara otomatis end-to-end dilakukan,” katanya.
Untuk meningkatkan kolaborasi, Anggito juga mendorong pertukaran pegawai antarlembaga, seperti secondment. Ia berharap ada tukar-menukar staf muda antara LPS, OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang lebih kuat dan saling memahami.
“Harusnya ada tukar-menukar staf yang muda. Staf LPS dipindah ke OJK, staf OJK ditempatkan di LPS, juga di Bank Indonesia dan di Kementerian Keuangan. Sehingga ada chemistry yang bisa terbangun sama-sama,” ujarnya.
Dengan langkah-langkah ini, Anggito yakin LPS dapat berperan lebih efektif sebagai risk minimizer dalam menjaga stabilitas keuangan nasional. Ia menekankan pentingnya kesamaan kriteria risk assessment antar lembaga. Meskipun cara mitigasinya berbeda-beda, kedua institusi harus memiliki risk profile yang sama.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!