
Pengalaman Masyarakat Kampung Domande dalam Menghadapi Ancaman Perkebunan Tebu
Pada Sabtu sore, 13 September 2025, sebuah kejadian unik terjadi saat rombongan warga Kampung Domande yang terdiri dari 13 orang memasuki hutan. Seekor anak babi tiba-tiba menarik perhatian mereka. Saat itu, mereka sedang duduk di bak mobil double cabin dan langsung turun mengejar hewan tersebut yang berusaha sembunyi di antara semak dan pepohonan. Setelah beberapa saat, anak babi itu berhasil ditangkap hidup-hidup dan diikat dengan seutas tali. Selanjutnya, hewan itu disimpan di bak mobil untuk dibawa pulang.
Vitalis Debo Mahuze, salah satu warga Kampung Domande, menjelaskan bahwa hutan yang mereka masuki adalah wilayah berburu masyarakat setempat. “Di sini merupakan tempat berburu dan mencari makan,” ujarnya saat berada di lokasi tersebut, yang termasuk wilayah Distrik Malind, Merauke, Papua Selatan.
Menurut Debo, hutan ini dulunya dikelola oleh perusahaan dari Grup Rajawali sejak tahun 2009 hingga 2013. Pada masa itu, hutan sempat gundul akibat pembukaan lahan untuk perkebunan tebu. Namun, setelah perusahaan tersebut menghentikan operasinya, hutan mulai kembali tumbuh dengan berbagai tanaman dan pepohonan. Kini, hutan kembali berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat adat setempat.
Egenius Gebze, warga lainnya dari Kampung Domande, menyampaikan bahwa hutan wilayah Distrik Malind telah menjadi rumah bagi beragam hewan seperti babi, rusa, kanguru pohon, serta berbagai jenis burung dan ikan. Buah-buahan dan dedaunan dari tanaman di hutan juga dimanfaatkan untuk konsumsi atau dijual. “Semua itu ada di hutan ini,” katanya sambil masih duduk di bak mobil double cabin yang sama.
Warga Kampung Domande juga sering menjaring ikan di aliran kali yang terletak di tengah hutan. Mereka menggunakan hutan sebagai sumber penghidupan sehari-hari. Burung-burung, kata Egenius, menjadi teman yang membantu memberikan informasi waktu maupun penunjuk jalan pulang saat berada di hutan. Berbagai kicauan khas burung juga bisa menjadi tanda-tanda kabar baik atau buruk di perkampungan untuk mereka yang sedang berburu.
Tak ingin kehilangan semua itu untuk kedua kalinya, masyarakat Kampung Domande menyatakan menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) kebun tebu yang akan melibatkan tanah ulayat mereka. "Hutan yang menjadi tempat berburu ini kemungkinan akan beralih dari perusahaan sebelumnya ke perusahaan berbeda untuk mengelola perkebunan tebu seperti dahulu," ujar Debo.
Sejak tahun lalu, warga Kampung Domande telah mendengar kabar tentang PSN tersebut. Sejak saat itu pula mereka kompak menolak. Mereka terdiri dari seluruh warga dari tujuh marga Suku Malind-Anim: Gebze, Mahuze, Kaize, Balagaize, Ndiken, Samkakai, dan Basik-Basik. “Kami sudah trauma karena terlalu banyak janji yang tidak terpenuhi oleh perusahaan,” tutur Debo yang berusia 42 tahun.
Adriana Ndiken, perempuan berusia 38 tahun, merasa sedih ketika mendengar kabar bahwa hutan akan diratakan untuk diganti menjadi perkebunan tebu. Air mata mengalir saat ia membayangkan hutan akan hilang. Adriana mengaku memiliki ikatan kuat dengan nenek moyang, orang tua, dan anak-anaknya, selain untuk mencari berbagai kebutuhan hidup di hutan itu.
Ikatan sosial tersebut selalu diingatnya melalui sebuah lagu tentang burung cendrawasih atau yang biasa disebut burung kuning. Lagu ini dilantunkan bersama warga lainnya ketika berada di hutan selama mencari kelapa atau hasil tanaman lain. Burung cendrawasih dipandang sebagai penuntun jalan pulang bagi seseorang sejauh manapun pergi melangkah. Namun, populasi burung tersebut terancam karena perburuan liar maupun hutan yang semakin berkurang. “Kalau burung sudah hilang, sayang, rasa terpukulnya di situ,” katanya saat ditemui pada Jumat, 13 September 2025.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!