ICOR Diperhatikan Profesor Sumitro, Ini Praktik Pemerintah Saat Ini

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Pengertian ICOR dan Pentingnya Efisiensi Ekonomi

Suatu sore setelah mengajar, saya duduk di Sumitro Djojohadikusumo Corner di Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok. Sudut itu, yang didedikasikan untuk keluarga Profesor Sumitro, berisi puluhan karya beliau. Saat membaca ulang tulisan-tulisan “Pak Cum” setelah beliau lengser dari Kabinet Pembangunan pada tahun 1978, saya menemukan dua topik yang terus beliau ulang: ICOR Indonesia yang terlalu tinggi, dan pentingnya deregulasi untuk memperbaiki efisiensi.

Istilah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) mungkin terdengar teknis. Namun sesungguhnya, indikator ini sederhana dan berguna untuk memahami efisiensi sebuah perekonomian. ICOR mengukur berapa banyak tambahan kapital (investasi) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit tambahan output (pertumbuhan). Secara umum, ICOR rendah bisa dikatakan efisien, karena setiap rupiah investasi menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar. Dan sebaliknya, ICOR tinggi dianggap inefisien, karena butuh modal lebih banyak hanya untuk menghasilkan pertumbuhan yang sama.

Namun ICOR cenderung naik seiring kemajuan ekonomi. Ada tiga alasannya yaitu (1) Intensitas modal meningkat. Industri makin kompleks dan padat modal; (2) Law of diminishing returns. Tambahan investasi memberi output tambahan yang makin kecil; dan (3) Waktu jeda (lag time) lebih panjang. Proyek besar seperti infrastruktur butuh waktu lama sebelum menghasilkan output. Karena itu, ICOR “efisien” Indonesia hari ini wajar lebih tinggi daripada ICOR era 1970-an. Namun, sekalipun dengan faktor struktural ini, ICOR kita tetap relatif terlalu tinggi dibanding negara lain.

Dari Perencanaan ke Perhitungan

ICOR bukan hanya alat analisis, tapi juga jembatan untuk perencanaan sederhana. Misalnya, jika Pemerintahan Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun, dengan ICOR sekitar 6, dibutuhkan investasi setara 48 persen produk domestik bruto (PDB). Padahal, tabungan nasional bruto kita hanya 34 persen PDB. Artinya, ada gap 12 persen yang hanya bisa ditutup dengan pinjaman luar negeri—sesuatu yang hampir mustahil sekaligus berisiko bagi stabilitas.

Bagaimana agar realistis? Caranya dengan menurunkan ICOR. Jika ICOR bisa diturunkan ke 4,5, maka kebutuhan investasi tinggal 36 persen PDB. Kesenjangan pembiayaan menyusut jadi 2 persen PDB—setara dengan defisit transaksi berjalan yang pernah ditanggung Indonesia saat mencapai pertumbuhan tinggi di era Orde Baru. Pesannya jelas: efisiensi sama pentingnya dengan mobilisasi tabungan.

Profesor Sumitro bahkan pernah memberi contoh ekstrem: bila kebocoran (korupsi) APBN mencapai 30 persen, hanya dengan menutup kebocoran itu saja efisiensi meningkat, ICOR menurun, dan pertumbuhan bisa melonjak tanpa harus mencari modal baru.

ICOR dalam Kehidupan Sehari-hari

ICOR bukan hanya urusan makro. Ia hadir dalam keputusan sehari-hari di institusi publik dan BUMN. Saya teringat pengalaman sebagai anggota Dewan Komisaris PLN. Dalam rapat membahas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), rekan saya Dr. Archandra Tahar mempertanyakan mengapa PLN menggunakan reserve margin hingga 30 persen. Faktanya, di Jawa dan Sumatera margin cadangan mencapai 35–40 persen.

Apa artinya reserve margin? Semakin tinggi cadangan, semakin banyak pembangkit listrik yang dibangun tetapi dibiarkan menganggur. Pembangkit adalah barang modal, dan bila tidak digunakan, berarti kapital menganggur. Hasilnya: ICOR melonjak. PLN memilih kenyamanan—“lebih aman ada cadangan besar”—tetapi biayanya adalah inefisiensi nasional.

Contoh lain adalah stok beras berlebihan. Pemerintah sering membanggakan cadangan besar, seolah itu jaminan ketahanan pangan. Padahal beras adalah komoditas mudah rusak. Biaya gudang, bunga, hingga risiko depresiasi membuat stok berlebih sama dengan modal mati. Lagi-lagi, ICOR naik.

Praktik Pemerintah Dewasa Ini Justru Meningkatkan ICOR

Beberapa kebijakan pemerintah saat ini justru berlawanan dengan pesan efisiensi ala Profesor Sumitro seperti: Pertama, kabinet gemuk. Jumlah menteri dan pejabat tinggi yang berlebihan menaikkan overhead cost. Koordinasi makin sulit, biaya transaksi naik, dan akhirnya ICOR meningkat. Kedua, ekspansi batalion TNI. Rekrutmen prajurit baru bukan hanya menambah beban gaji, tapi juga biaya pensiun jangka panjang hingga 30 tahun. Investasi sumber daya manusia ini tidak serta-merta meningkatkan produktivitas ekonomi.

Ketiga, pembelian alutsista dari banyak negara. Di luar justifikasi belanja alutsista di tengah kebutuhan anggaran untuk kebutuhan pokok yang lain, kita membeli pesawat dari Rusia, Amerika Serikat, Prancis, Turki, bahkan Cina. Setiap jenis memerlukan teknisi, pilot, dan suku cadang berbeda. Fragmentasi ini mahal, tidak efisien, dan menambah ICOR. Keempat, duplikasi pendidikan kedinasan. Biaya pendidikan kedinasan bisa 2–3 kali lipat lebih tinggi dibanding pendidikan umum. Misalnya, STAN vs jurusan akuntansi universitas; STIS vs jurusan statistik FMIPA. Integrasi lembaga kedinasan ke universitas akan menghemat biaya dan menurunkan ICOR.

Belajar dari Negara Lain

Korea Selatan dan Taiwan di era 1970-an menjaga ICOR tetap rendah (3–4) karena investasi diarahkan ke sektor ekspor dengan produktivitas tinggi. Cina saat periode pertumbuhan pesat juga menjaga ICOR sekitar 4–5, berkat investasi di infrastruktur dan manufaktur yang cepat menghasilkan output. Indonesia sebaliknya sering membiarkan ICOR naik di atas 6 karena modal terserap ke proyek-proyek yang kurang produktif: pembangkit menganggur, kawasan industri sepi, hingga proyek prestisius berbiaya tinggi.

Mengapa Penting Hari Ini

Pesannya tegas: target pertumbuhan tinggi tidak cukup hanya dengan menaikkan rasio investasi. Tanpa menurunkan ICOR, tambahan modal akan menghasilkan pertumbuhan yang mengecewakan atau bahkan memaksa kita berutang besar. Menurunkan ICOR berarti (1) Memerangi korupsi dan kebocoran anggaran; (2) Merampingkan birokrasi dan struktur kabinet. (3) Memilih investasi dengan multiplier effect tinggi; (3) Memperbaiki seleksi dan eksekusi proyek pembangunan.

Inilah perbedaan antara ekonomi yang butuh 48 persen PDB investasi demi 8 persen pertumbuhan, dan ekonomi yang hanya butuh 36 persen. Yang pertama mustahil, yang kedua mungkin.

Penutup

Sumitro Djojohadikusumo pernah mengingatkan bahwa ICOR memang indikator kasar, tetapi menyimpan pesan dalam: efisiensi menentukan masa depan. Dari reserve margin PLN hingga duplikasi pendidikan kedinasan, Indonesia masih terjebak dalam pola yang membuat ICOR kita tinggi. Jika Pemerintahan Prabowo serius ingin mencapai pertumbuhan tinggi, jalannya jelas: turunkan ICOR dengan mengurangi pemborosan, menajamkan arah investasi, dan memperbaiki efisiensi. Hanya dengan begitu, modal yang kita tanam benar-benar bekerja untuk bangsa.

Pepatah lama berkata: “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Mulai lah dari contoh yang nyata yang saya sampaikan di atas.