
Peran Industri Hasil Tembakau dalam Perekonomian Nasional
Industri hasil tembakau (IHT) memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai sektor strategis, IHT tidak hanya berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, tetapi juga menyerap jutaan tenaga kerja dari hulu hingga hilir. Data menunjukkan bahwa kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 5,98 juta orang. Selain itu, nilai ekspor produk hasil tembakau mencapai USD1,85 miliar atau meningkat 21,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Peran IHT tidak hanya terlihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari struktur industri yang sangat lengkap. Indonesia memiliki industri pengeringan tembakau, kertas rokok, filter, bumbu, sigaret kretek tangan dan mesin, rokok putih, cerutu, hingga laboratorium bertaraf internasional. Hal ini menunjukkan bahwa IHT sudah mandiri dan mampu menjadi penopang ekspor nasional. Dengan basis industri yang kuat serta dukungan faktor lokasi strategis dan kualitas produk, Indonesia kini menempati peringkat ke-4 eksportir hasil tembakau dunia.
Ekosistem Pertembakauan yang Terbentuk Sejak Zaman Kolonial
Ekosistem pertembakauan di Indonesia telah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda dan hingga kini masih menjadi penopang kehidupan jutaan masyarakat. Mulai dari petani tembakau, perajang, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, pedagang, hingga eksportir, semuanya merupakan bagian dari rantai nilai IHT yang harus dijaga keberlanjutannya. Struktur industri ini sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain.
Tantangan yang Dihadapi IHT
Meskipun IHT memiliki peran penting dalam perekonomian, produk ini juga memiliki eksternalitas negatif, khususnya terkait risiko kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang tepat dan berimbang. Tarif cukai digunakan sebagai instrumen pengendalian konsumsi, terutama agar tidak mudah diakses anak-anak. Namun, kenaikan tarif yang terus-menerus berisiko menekan kinerja industri legal dan mendorong maraknya peredaran rokok ilegal.
Sejak 2020 hingga 2024, tarif cukai naik berturut-turut sebesar 23%, 12,5%, 12%, 10%, dan 10%, serta diikuti kenaikan harga jual eceran. Akibatnya, rokok ilegal kini semakin masif beredar di masyarakat dan merugikan industri yang patuh membayar cukai. Selain itu, kebijakan non-fiskal seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU Kesehatan juga menjadi sorotan karena sejumlah ketentuannya akan berlaku penuh mulai Juli 2026.
Kebijakan yang Harus Lebih Komprehensif
Dengan ruang gerak industri yang semakin terbatas, Faisol mengingatkan bahwa keberlangsungan IHT berkaitan langsung dengan sekitar enam juta tenaga kerja. Karena itu, ia mengapresiasi pernyataan Menteri Keuangan yang memastikan tarif cukai hasil tembakau tidak akan naik tahun depan. Ia berharap kebijakan IHT ke depan lebih komprehensif, mempertimbangkan aspek kesehatan sekaligus aspek ekonomi. Terlebih, tingginya peredaran rokok ilegal harus menjadi variabel penting dalam perumusan kebijakan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!