
Profesi Petani yang Terabaikan oleh Generasi Muda
Petani merupakan pilar utama dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dari hasil kerja mereka, berbagai jenis makanan seperti nasi, sayur, dan buah tersedia di meja makan setiap hari. Namun, profesi yang seharusnya mulia ini kini semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Hal ini disampaikan dengan jelas oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar, bahwa anak muda lebih memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) daripada menjadi petani.
Perubahan ini tidak hanya terjadi karena perubahan selera pekerjaan, tetapi juga mencerminkan adanya masalah struktural yang lebih dalam. Salah satunya adalah ketidakpastian dalam kesejahteraan petani. Pendapatan yang tidak stabil serta tingkat risiko yang tinggi membuat profesi petani kurang menarik bagi generasi muda.
Harga Pangan yang Fluktuatif dan Pendapatan yang Rapuh
Salah satu penyebab utama ketidakstabilan pendapatan petani adalah fluktuasi harga pangan. Ekonom pangan dari CORE Indonesia, Eliza Mardian, menjelaskan bahwa ketika harga beras, cabai, atau bawang turun, petani harus menjual hasil panen dengan harga rendah. Di sisi lain, saat harga naik di pasar konsumen, keuntungan justru dinikmati oleh pedagang perantara, bukan petani itu sendiri.
Selain itu, biaya produksi yang terus meningkat juga memberatkan petani. Harga pupuk, bibit, hingga tenaga kerja semakin mahal. Dengan produktivitas yang rendah, margin keuntungan petani menjadi sangat tipis. Akibatnya, profesi petani dianggap sebagai pekerjaan yang melelahkan namun tidak memberikan hasil yang memadai.
Ancaman Perubahan Iklim dan Risiko yang Tinggi
Tidak hanya faktor ekonomi, ancaman perubahan iklim juga menjadi tantangan besar bagi petani. Banjir, kekeringan, serangan hama, dan penyakit tanaman sering kali menyebabkan gagal panen. Sayangnya, perlindungan yang diberikan kepada petani masih kurang optimal. Skema asuransi gagal panen yang ada belum mampu menjangkau mayoritas petani, terutama mereka yang memiliki lahan kecil.
Dengan risiko yang tinggi dan perlindungan yang tidak memadai, banyak generasi muda memilih pekerjaan yang dianggap lebih aman, seperti menjadi buruh bangunan, pekerja pabrik, atau pengemudi ojek daring. Pilihan tersebut dianggap lebih pasti dalam hal pendapatan.
Permodalan dan Rantai Pasok yang Tidak Adil
Masalah lain yang menghambat pertanian adalah akses terhadap modal murah. Banyak petani gurem terjebak dalam utang dengan bunga tinggi, sementara program kredit usaha rakyat (KUR) pertanian belum sepenuhnya efektif menjangkau kelompok akar rumput. Di sisi lain, rantai pasok pangan masih dikuasai oleh tengkulak yang memengaruhi harga jual hasil panen.
Kondisi ini membuat petani terjepit antara biaya produksi yang tinggi dan harga jual yang ditekan. Karena itu, generasi muda enggan masuk ke sektor yang penuh ketidakpastian ini.
Pertanian Perlu Didorong ke Arah Formalitas
Menurut pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, sektor pertanian selama ini cenderung dianggap informal. Jika pemerintah serius menjadikannya sebagai sektor formal dengan regulasi jelas, jaminan perlindungan kerja, dan kepastian upah, maka generasi muda akan lebih tertarik terjun ke dalamnya.
Formalisasi pertanian juga dapat mendorong integrasi dengan sistem industri. Artinya, hasil panen tidak hanya dijual mentah, tetapi diolah sehingga memiliki nilai tambah. Dengan demikian, petani tidak sekadar menjadi produsen bahan mentah, melainkan bagian dari industri pangan yang modern dan berdaya saing.
Gerakan Kebangkitan Tani dan Agenda Kebijakan Strategis
Pemerintah telah berupaya menjawab tantangan ini melalui Gerakan Kebangkitan Tani (Gerbang Tani) Indonesia. Program ini membawa tiga agenda strategis:
- Land reform atau pembagian tanah untuk petani kecil.
- Peningkatan input produksi seperti pupuk, bibit unggul, dan irigasi.
- Penguatan akses pemasaran agar petani tidak bergantung pada tengkulak.
Jika dijalankan konsisten, agenda ini dapat mengubah wajah pertanian Indonesia. Namun, kebijakan tidak boleh berhenti di atas kertas. Implementasi di lapangan harus menyentuh kebutuhan nyata petani, terutama generasi muda yang tengah menimbang masa depan.
Mengembalikan Gengsi Profesi Petani
Persoalan enggannya anak muda menjadi petani sejatinya adalah refleksi dari rendahnya penghargaan bangsa terhadap sektor pertanian. Pertanian sering dipandang sebagai pekerjaan kelas dua, padahal dari sana lahir fondasi ketahanan pangan nasional.
Negara harus hadir untuk mengembalikan martabat petani. Itu bisa dilakukan dengan menekan biaya produksi, menstabilkan harga di tingkat petani, menyediakan perlindungan sosial yang efektif, serta membuka jalan formalitas sektor pertanian.
Generasi muda memiliki potensi luar biasa dalam inovasi pertanian, baik lewat teknologi digital, mekanisasi, maupun sistem agribisnis modern. Namun, tanpa jaminan kesejahteraan, mereka akan tetap memandang sawah dan ladang sebagai jalan hidup yang suram.
Ke depan, tantangan terbesar bangsa bukan hanya menyediakan pangan, tetapi juga memastikan profesi petani tetap lestari. Tanpa regenerasi, krisis petani bisa menjadi krisis pangan. Jalan keluarnya ada pada keberanian negara menata ulang ekosistem pertanian agar lebih adil, menguntungkan, dan menjanjikan masa depan.
Petani tidak boleh hanya dikenang sebagai simbol romantis masa lalu. Mereka harus ditempatkan sebagai aktor utama yang layak dihormati, dihargai, dan sejahtera. Hanya dengan cara itu, profesi petani bisa kembali menarik bagi generasi muda, sekaligus menjaga masa depan pangan Indonesia.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!