MPBI DIY Kritik Draf RUU Ketenagakerjaan, Dinilai Kurang Lindungi Buruh

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

MPBI DIY Kritik Draf RUU Ketenagakerjaan, Dinilai Kurang Lindungi Buruh

Kritik Terhadap Draf RUU Ketenagakerjaan dari MPBI DIY

Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyampaikan kritik terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang baru. Regulasi ini disusun pemerintah sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang meminta adanya aturan lebih komprehensif dan berpihak pada perlindungan buruh.

Namun, MPBI DIY menilai bahwa draf yang ada masih menyimpan banyak masalah serius. Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menegaskan bahwa draf RUU belum sepenuhnya menjawab mandat MK dan cenderung melemahkan perlindungan hak-hak pekerja.

“RUU ini memang mengakui hak buruh untuk membentuk serikat dan berunding kolektif. Namun, banyak pengaturan strategis seperti pengupahan, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), outsourcing hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap diserahkan pada Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Hal ini mengurangi ruang partisipasi substantif serikat buruh dalam menentukan kebijakan yang langsung menyangkut nasib pekerja,” ujarnya.

Pasal-Pasal Mengenai Hak Mogok Kerja

MPBI DIY juga menyoroti pasal-pasal yang mengatur hak mogok kerja. Dalam Pasal 159–167, mogok diposisikan sebagai ancaman dan dibatasi prosedur yang ketat. Mogok yang tidak sesuai prosedur dapat dinyatakan tidak sah, bahkan berimplikasi pada kriminalisasi buruh.

“Padahal, hak mogok diakui secara universal sebagai instrumen fundamental untuk menyeimbangkan posisi tawar dengan pengusaha. Kalau hak ini dipersempit dengan syarat administratif yang ketat, buruh bisa semakin rentan menghadapi tekanan perusahaan,” kata Irsad.

Pengaturan Kontrak Kerja dan Outsourcing

RUU Ketenagakerjaan tetap membuka ruang bagi kontrak kerja jangka pendek hingga lima tahun dengan opsi perpanjangan. Outsourcing juga masih dilegalkan untuk sektor penunjang.

“Pengaturan ini mendorong lahirnya pekerja kontrak permanen dan menimbulkan ketidakpastian kerja. Hal ini jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tegas Irsad.

Kemajuan dan Risiko Diskriminasi

Meski RUU Ketenagakerjaan memiliki sejumlah kemajuan, seperti cuti melahirkan hingga enam bulan dengan sebagian upah tetap dibayar, serta perlindungan bagi penyandang disabilitas, MPBI DIY menilai ketentuan tersebut berisiko menimbulkan diskriminasi baru.

“Tanpa kebijakan afirmatif dan pengawasan ketat, aturan cuti melahirkan maupun perlindungan disabilitas justru bisa memicu diskriminasi perekrutan. Perusahaan berpotensi menghindari perekrutan perempuan atau penyandang disabilitas untuk mengurangi beban kewajiban,” ujar Irsad.

PHK Sepihak dan Partisipasi Serikat Buruh

RUU juga dinilai belum memberikan jaminan kuat untuk mencegah PHK sepihak. Meskipun alasan PHK diatur dalam Pasal 151–156, perusahaan tetap dapat menggunakan dalih efisiensi atau kerugian usaha.

“Kami menuntut agar PHK hanya dilakukan sebagai langkah terakhir dengan syarat ketat dan kompensasi adil. Buruh juga harus dilibatkan dalam perundingan sebelum PHK massal dilakukan untuk mencegah praktik sewenang-wenang,” kata Irsad.

Perlindungan Pekerja Kreatif dan Informal

Selain itu, MPBI menyoroti pengaturan pekerja kreatif dan informal. Pasal 46–49 memperkenalkan istilah “pekerja di luar hubungan kerja” dengan hak imbalan adil, jaminan sosial minimal, serta perlindungan K3. Namun, pengaturan ini dianggap normatif.

“Pekerja kreatif, pekerja digital, termasuk freelancer dan pekerja platform, masih berpotensi tidak mendapatkan kepastian penghasilan maupun perlindungan sosial komprehensif. RUU ini gagal menjawab kebutuhan riil jutaan pekerja kreatif dan informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat,” ujar Irsad.

Koperasi dan Hubungan Kerja yang Adil

RUU juga menyebut koperasi sebagai pelaku usaha yang dapat mempekerjakan tenaga kerja, tetapi belum memberi ruang cukup bagi model koperasi pekerja.

“Kami menilai penguatan koperasi buruh bisa menjadi jalan keluar dari eksploitasi fleksibilitas pasar kerja, sekaligus sejalan dengan prinsip ekonomi gotong royong dalam Pasal 33 UUD 1945. RUU harus mencantumkan pengaturan afirmatif mengenai koperasi buruh, termasuk dukungan akses modal, insentif fiskal, dan perlindungan hukum,” tutur Irsad.

Tuntutan MPBI DIY

Menurut MPBI DIY, meski RUU ini menyatukan substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023, sejumlah pasal yang pernah ditolak publik tetap dipertahankan, seperti fleksibilitas PKWT, outsourcing, dan formula upah minimum.

“Dengan demikian, amanat MK untuk memperkuat perlindungan buruh belum sepenuhnya terpenuhi. RUU ini belum mencerminkan prinsip keadilan sosial bagi buruh,” tegas Irsad.

MPBI DIY mendesak agar draf RUU direvisi dengan beberapa tuntutan. Di antaranya adalah penghapusan outsourcing, pembatasan ketat PKWT, penguatan hak mogok, pembatasan PHK sepihak, partisipasi substantif serikat buruh dalam aturan turunan, penegakan HAM dan K3 dengan sanksi pidana, serta kebijakan afirmatif bagi perempuan dan disabilitas.

Selain itu, mereka menuntut perlindungan khusus bagi pekerja kreatif dan informal dengan jaminan sosial komprehensif, standar upah minimum berbasis sektor, serta hak berunding kolektif. MPBI juga mendorong penguatan koperasi buruh sebagai bentuk perlindungan kolektif dan alternatif hubungan kerja yang adil.