Rokok Ilegal: Tantangan Berulang dalam Peningkatan Cukai

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Rokok Ilegal: Tantangan Berulang dalam Peningkatan Cukai

Kenaikan Cukai Rokok sebagai Strategi Efektif dalam Menurunkan Perokok

Kenaikan cukai rokok sering kali dianggap sebagai langkah yang bisa memicu masyarakat beralih ke rokok ilegal. Namun, fakta menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal tidak selalu terkait langsung dengan harga atau cukai rokok legal. Sebaliknya, faktor-faktor seperti lokasi geografis, regulasi, dan tata kelola penindakan juga berperan penting dalam menentukan tingkat peredaran rokok ilegal.

Menurut riset terbaru dari CISDI (2025), kenaikan harga rokok sebesar 10% dapat mengurangi kecenderungan merokok remaja hingga 22%. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan cukai merupakan strategi paling efektif dalam menurunkan jumlah perokok. Namun, kebijakan ini harus diiringi dengan pengawasan ketat terhadap rokok ilegal agar tidak menjadi penghalang bagi penerapan kebijakan tersebut.

Pengukuran Peredaran Rokok Ilegal: Tantangan dan Data

Mengukur peredaran rokok ilegal memang sulit karena variasinya sangat beragam. Di Indonesia, rokok ilegal meliputi berbagai jenis, seperti rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai palsu, serta rokok tanpa peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning) atau PHW yang tidak sesuai. Metode pengukuran yang objektif dan digunakan secara global adalah inspeksi sampah kemasan rokok.

Pada 2024, CISDI dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia melakukan inspeksi sampah kemasan rokok di enam kota besar dan menemukan rata-rata peredaran rokok ilegal sebesar 10,7% dari total sampah rokok yang ditemukan. Namun, angka ini belum mencerminkan skala nasional. Survei ritel Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Universitas Gadjah Mada (2023) menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal dalam skala nasional berkisar antara 6,9% dari total penjualan rokok.

Namun, kita perlu berhati-hati dalam menilai hasil survei rokok ilegal. Tim peneliti Johns Hopkins University menemukan bahwa industri rokok sering kali mengklaim angka peredaran rokok ilegal yang jauh lebih tinggi dibandingkan studi independen. Tujuannya adalah untuk menghambat kebijakan peningkatan cukai dan menyebarkan narasi bahwa kenaikan cukai membuat peredaran rokok ilegal semakin masif.

Misalnya, studi independen di Kolombia (2016) menemukan peredaran rokok ilegal sebesar 3,5%, sementara industri mengklaim 20%. Studi independen di Hong Kong (2012) mencatat 12%, sedangkan industri menyebut 36%. Tim peneliti juga mengkritik estimasi peredaran rokok ilegal dari lembaga komersial seperti Euromonitor dan GlobalData, karena metode mereka tidak konsisten dan kurang transparan.

Faktor Geografis dan Regulasi Berpengaruh pada Peredaran Rokok Ilegal

Bank Dunia menjelaskan bahwa faktor-faktor penentu tingginya peredaran rokok ilegal tidak berkaitan langsung dengan cukai. Beberapa faktor utama antara lain potensi keuntungan dari produksi dan penyebaran rokok ilegal, letak geografis yang memudahkan peredaran, lemahnya regulasi dan tata kelola penindakan, serta praktik korupsi.

Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal jauh lebih kecil di negara-negara dengan cukai rokok tinggi dibandingkan negara-negara dengan cukai rendah. Penyebabnya, negara-negara dengan cukai tinggi biasanya memiliki regulasi, tata kelola, dan sistem pengawasan yang lebih baik.

Studi CISDI (2024) menunjukkan bahwa kota-kota pelabuhan besar seperti Surabaya dan Makassar memiliki prevalensi rokok ilegal yang lebih tinggi (masing-masing 21,5% dan 20,6%) dibandingkan kota besar lain. Ini menunjukkan bahwa faktor geografis memengaruhi peredaran rokok ilegal. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat pemantauan dan penegakan hukum di wilayah-wilayah berisiko tinggi.

Selain itu, studi CISDI (2023) menunjukkan bahwa rokok legal di Indonesia masih sangat terjangkau, bahkan semakin terjangkau dalam dua dekade terakhir. Anggapan bahwa kenaikan cukai akan menyebabkan masyarakat beralih ke rokok ilegal kurang tepat. Meskipun harga jual rokok meningkat setiap tahun, pendapatan dan kemampuan ekonomi masyarakat juga bertambah. Selain itu, banyaknya jumlah rokok yang dijual secara batangan membuat produk ini tetap terjangkau.

Rokok Ilegal Bisa Diberantas Sambil Menaikkan Cukai

Beberapa negara telah berhasil menurunkan jumlah perokok dengan meningkatkan cukai, meskipun rokok ilegal beredar. Contohnya, Brasil—yang memiliki tingkat peredaran rokok ilegal sekitar 27%—berhasil menurunkan prevalensi merokok secara signifikan sejak menerapkan reformasi kebijakan cukai pada 2011. Keberhasilan Brasil menjadi contoh bahwa efektivitas kenaikan cukai dalam menurunkan jumlah perokok tetap bisa dicapai meskipun rokok ilegal marak.

Turki juga berhasil menurunkan konsumsi per kapita rokok sebesar 9% setelah menaikkan cukai. Evaluasi atas peningkatan cukai pada 2013 menunjukkan bahwa besaran rokok ilegal di Turki tetap stabil sekitar 12% setelah lima bulan cukai naik. Belajar dari Brasil dan Turki, pemerintah seharusnya tetap meningkatkan cukai agar dapat menurunkan jumlah perokok di Indonesia.

Syaratnya, pemerintah perlu mengawasi secara ketat kawasan perdagangan bebas untuk mengurangi risiko penyelundupan, meningkatkan pengawasan terhadap produsen, serta menutup pabrik rokok yang tidak berizin. Selain itu, regulasi kepemilikan mesin pelinting rokok perlu diperketat agar tidak disalahgunakan untuk memproduksi rokok ilegal.

Pemerintah perlu mengadopsi sistem pelacakan dan penelusuran (trace and track system) untuk memantau dan mengamankan rantai pasok produk tembakau. Hal yang tak kalah penting adalah pemerintah mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control) dan menerapkan Protokol Pemberantasan Perdagangan Ilegal Produk Tembakau dari WHO. Aksesi dua aturan tersebut akan memperkuat komitmen Indonesia melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan tingkat konsumsi produk tembakau, serta menyelaraskan kebijakan nasional dengan upaya pengendalian tembakau global.