Sengketa Lahan Sawit Aceh Utara, Bupati Minta Ukur Ulang HGU PTPN IV dan Satya Agung

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Konflik Lahan Perkebunan di Aceh Utara Memperlihatkan Tantangan Pengelolaan Wilayah

Sengketa lahan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat kembali menjadi sorotan di Aceh Utara. Kini, konflik ini melibatkan dua perusahaan besar, yaitu PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) Regional 6 yang berada di Kecamatan Cot Girek serta PT Satya Agung di Kecamatan Geureudong Pase. Masalah ini tidak hanya memicu ketegangan antara pihak perusahaan dan warga setempat, tetapi juga menunjukkan kompleksitas pengelolaan lahan yang memerlukan koordinasi yang baik antara berbagai pihak.

Bupati Aceh Utara, Ismail A Jalil atau yang akrab disapa Ayahwa, mengambil langkah untuk mendorong pengukuran ulang Hak Guna Usaha (HGU) agar batas lahan lebih jelas. Langkah ini dilakukan setelah menerima laporan dari masyarakat yang merasa sebagian kebun mereka masuk dalam klaim kawasan HGU perusahaan. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan keadilan dalam pengelolaan lahan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area perusahaan.

Pengukuran Ulang HGU PTPN IV di Cot Girek

Kepala Kantor Pertanahan Aceh Utara, Muhammad Reza, menjelaskan bahwa PTPN IV telah mengajukan perpanjangan HGU seluas 7.500 hektare di Kecamatan Cot Girek. HGU tersebut akan berakhir pada 26 November 2026. Biasanya, perusahaan mengajukan perpanjangan HGU lima tahun sebelum masa berlakunya habis. PTPN IV sudah mengajukan permohonan tersebut, dan pengukuran ulang dimulai sejak pertengahan 2024. Namun, hingga saat ini hasilnya belum diperiksa oleh tim gabungan.

Reza menegaskan bahwa kewenangan pengelolaan HGU bergantung pada luas lahan: di atas 1.000 hektare ditentukan oleh Kementerian ATR/BPN, di bawah 1.000 hektare oleh Kanwil Pertanahan, dan hanya lahan seluas 25 hektare yang menjadi kewenangan Kantor Pertanahan kabupaten/kota. Keputusan perpanjangan HGU, pelepasan sebagian lahan, atau izin baru sangat bergantung pada hasil evaluasi tim gabungan yang terdiri dari Kanwil Pertanahan, Pemprov Aceh, dan Pemkab Aceh Utara.

Kasus Serupa di PT Satya Agung

Selain PTPN IV, konflik lahan juga terjadi dengan PT Satya Agung di Kecamatan Geureudong Pase. Perusahaan ini sedang mengurus perpanjangan HGU nomor 18 seluas 200 hektare. Menurut Reza, tugas utama perusahaan adalah memasang patok batas, kemudian baru dilakukan pengukuran ulang oleh Kantor Pertanahan. Namun, proses ini terhenti karena kesepakatan bersama antara Panitia Khusus DPRD Aceh Utara, Satya Agung, dan masyarakat.

Pengukuran ulang lahan PT Satya Agung berada di bawah kewenangan Kanwil Pertanahan Provinsi Aceh. Reza menekankan bahwa urusan tanah tidak bisa ditangani sendiri oleh Kantor Pertanahan. Perlu adanya kerja sama dengan pemerintah daerah agar semua pihak merasa puas dan adil.

Sengketa Lahan Perkebunan di Aceh Utara

Konflik lahan yang terjadi di Aceh Utara tidak hanya terbatas pada PTPN IV dan Satya Agung. Di Kecamatan Paya Bakong, masyarakat juga mengalami sengketa dengan PT Bapco. Persoalan ini menunjukkan betapa kompleksnya pengelolaan lahan perkebunan sawit di wilayah ini.

Untuk menghindari konflik yang semakin memburuk, diperlukan transparansi dalam pengelolaan lahan dan keterlibatan aktif dari semua pihak. Masyarakat harus diberikan hak yang sama dalam pengambilan keputusan, sementara perusahaan juga harus mematuhi aturan yang berlaku. Dengan demikian, keadilan dapat tercapai dan hubungan antara perusahaan dan masyarakat dapat lebih harmonis.