Tantangan dan Solusi Pengelolaan Sampah di Sleman, Bantul, dan Yogyakarta

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Tantangan dan Solusi Pengelolaan Sampah di Sleman, Bantul, dan Yogyakarta

Masalah Pengelolaan Sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta

Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan telah memicu tantangan baru bagi tiga kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Wilayah-wilayah ini sebelumnya bergantung pada sistem pengelolaan sampah yang dikenal dengan kumpul-angkut-buang. Kini, mereka harus mencari solusi untuk menghadapi masalah penumpukan sampah yang semakin parah.

Kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah menjadi salah satu penyebab utama permasalahan ini. Jumlah Unit Pengelolaan Sampah (UPS) dan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) masih belum cukup untuk menangani volume sampah yang terus meningkat. Hal ini menyebabkan over kapasitas, potensi konflik sosial, serta penumpukan sampah yang tidak terkelola secara baik.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Ombudsman RI Perwakilan DIY, ditemukan bahwa masing-masing kabupaten/kota masih menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan sampah. Tantangan tersebut berpotensi memicu maladministrasi dan kegagalan dalam tata kelola sampah.

Di Kota Yogyakarta, misalnya, jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari melebihi kapasitas UPS yang ada. Total kapasitas UPS hanya 150 ton per hari, sementara timbulan sampah mencapai hampir 300 ton per hari. Akibatnya, sampah menumpuk di depo hingga 50 ton per hari. Selain itu, teknologi pengolahan sampah yang terbatas juga menjadi hambatan. Contohnya, UPS Nitikan 1 dan 2 menerapkan prinsip 'sampah hari ini habis hari ini', tetapi kualitas RDF rendah karena tidak menggunakan rotary dryer.

Tingkat kepatuhan masyarakat dalam memilah sampah juga masih rendah, hanya sekitar 20-25 persen. Sampah berbahaya seperti parfum dan kaleng gas bisa membahayakan keselamatan kerja. Bank sampah induk juga menghadapi berbagai kendala operasional.

Di Kabupaten Bantul, kondisi serupa terjadi. Kegagalan teknis dan perubahan model bisnis dalam pengelolaan sampah menjadi tantangan besar. Misalnya, insinerator yang ada tidak berfungsi optimal akibat desain yang cacat dan peralatan yang rusak. Model bisnis tipping fee di ITF Bawuran juga terganggu karena sampah campuran dari Kota Yogyakarta masuk ke wilayah ini. Metode pengelolaan residu di Kembanggede dinilai tidak efektif karena hanya dibakar menggunakan insinerator batako sederhana.

Sedangkan di Kabupaten Sleman, masalah utamanya adalah residu yang tidak terangkut selama lebih dari setahun. Di sejumlah TPS3R, bahkan terjadi kegagalan operasional akibat backlog sampah. Selain itu, kesejahteraan pekerja TPS3R masih rendah, dengan gaji di bawah UMR dan kurangnya jaminan kesehatan serta ketenagakerjaan.

Ombudsman RI Perwakilan DIY menyimpulkan bahwa kegagalan sistemik dalam mendorong pemilahan sampah dari sumbernya menjadi akar masalah utama. Meskipun masing-masing kabupaten/kota memiliki Perda yang mendukung pengelolaan sampah, implementasi di lapangan masih lemah. Kapasitas UPS dan TPST juga masih jauh dari kebutuhan harian.

Pengangkutan residu dari TPS3R dan RDF dari TPST sering terputus, menyebabkan kelumpuhan operasional. Di sisi lain, TPS3R dan Bank Sampah sebagai garda terdepan pengelolaan sampah masih kurang dukungan kelembagaan, teknis, dan finansial.

Untuk mengatasi masalah ini, Ombudsman RI Perwakilan DIY merekomendasikan beberapa kebijakan. Pertama, mendorong skema tarif retribusi berbasis perilaku, di mana rumah tangga yang tidak memilah sampah dikenai biaya lebih tinggi. Selanjutnya, bentuk satgas khusus untuk menegakkan aturan pemilahan sampah di sumbernya, terutama di sektor komersial, perkantoran, dan fasilitas publik.

Dalam hal kelembagaan dan koordinasi, disarankan menetapkan Service Level Agreement (SLA) yang mengikat untuk pengangkutan residu dengan mekanisme monitoring digital seperti geo-tagging armada dan sanksi bagi keterlambatan. Pemerintah juga diminta menjadi perantara inovasi yang aktif menghubungkan TPS3R dengan industri daur ulang, akademisi, dan sumber pendanaan.

Dari segi teknis dan operasional, pemerintah didorong melakukan audit teknis dan standardisasi peralatan seluruh UPS maupun TPST. Investasi pada fasilitas pendukung krusial seperti gudang penyimpanan residu/RDF yang tertutup dan teknologi pengering atau rotary dryer menjadi prioritas. Terakhir, edukasi dan perubahan perilaku penting dilakukan melalui literasi pengelolaan sampah di kurikulum pendidikan formal dari tingkat dasar hingga menengah. Ini bertujuan membangun kesadaran jangka panjang dan mengembangkan kampanye perubahan perilaku yang masif dan berkelanjutan.