Direktur PT Timah Akui Kalah Bersaing dengan Tambang Ilegal di Bangka Belitung

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Direktur PT Timah Akui Kalah Bersaing dengan Tambang Ilegal di Bangka Belitung

Persaingan Ketat antara Penambangan Legal dan Ilegal di Bangka Belitung

Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, menyampaikan bahwa perusahaan selama ini mengalami kesulitan dalam bersaing dengan aktivitas penambangan timah ilegal yang marak terjadi di Bangka Belitung. Meskipun PT Timah memiliki tugas dari negara untuk menjalankan bisnis secara legal, persaingan antara penambangan legal dan ilegal tetap berlangsung sangat ketat.

Restu menegaskan bahwa persaingan ini tidak hanya terjadi secara teori, tetapi juga langsung terlihat di lapangan. Penambang ilegal tidak pernah membayar pajak maupun royalti, sementara PT Timah harus memenuhi berbagai kewajiban keuangan. Hal ini membuat perusahaan sulit bersaing secara fair di wilayah tersebut.

Selain itu, harga jual hasil tambang timah dari PT Timah juga sering kali lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh oknum ilegal. Dalam beberapa kasus, saat PT Timah meningkatkan harga sebesar Rp 250.000 per kilogram, pihak ilegal justru menaikkan harga jauh lebih besar, sehingga membuat PT Timah kalah dalam persaingan.

Untuk mengatasi masalah ini, PT Timah kini diperkuat dengan Satuan Tugas (Satgas) internal yang bertugas memperbaiki situasi di kawasan yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Satgas ini memiliki dua tugas utama, yaitu melakukan pemagaran wilayah agar tidak bisa dimasuki aktivitas tambang ilegal, serta menertibkan penambangan ilegal yang sudah ada.

Restu menjelaskan bahwa penambangan ilegal disebut ilegal karena tidak melalui proses yang sah. Pihaknya telah melaporkan rencana untuk mengorganisir aktivitas yang sebelumnya dianggap ilegal menjadi legal. Salah satu caranya adalah dengan memberdayakan para penambang ilegal melalui koperasi, sehingga mereka dapat beroperasi secara legal.

Penurunan Produksi dan Pendapatan PT Timah

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Nur Adi Kuncoro, mengungkapkan bahwa produksi biji timah pada tahun 2025 mengalami penurunan sekitar 32% dibandingkan situasi pada 2024. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah alat produksi yang belum maksimal dan kendala cuaca.

Adi juga menyebutkan bahwa beberapa lokasi penambangan belum sepenuhnya dapat diakses, seperti lokasi Olivier di Laut Belitung, Beriga di Bangka Tengah, dan Laut Rias di Bangka Selatan.

Sementara itu, pendapatan PT Timah pada semester I 2025 mencatat sebesar Rp 4,22 triliun. Jumlah ini turun sebesar 19% dibandingkan periode yang sama pada 2024.

Pengawasan DPR atas Praktik Penambangan Ilegal

Anggota Komisi VI DPR RI, Doni Akbar, menyoroti praktik pencurian bijih timah dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang dijual secara ilegal kepada pihak luar. Menurut Doni, masyarakat yang menambang bijih timah di IUP lebih memilih menjual ke smelter swasta karena harganya lebih tinggi dibandingkan tawaran dari PT Timah.

Doni menilai mekanisme penentuan harga dari PT Timah lemah, sehingga membuat para penambang lebih memilih menjual ke pihak lain. Kolektor lokal bahkan berani membeli bijih timah hingga Rp 210.000 per kilogram, sedangkan smelter swasta pernah menawarkan hingga Rp 300.000 sampai Rp 310.000 per kilogram.

Selain itu, Doni juga mempersoalkan biaya penambangan di wilayah laut yang lebih besar dibandingkan harga jual. Selisih ini berisiko menimbulkan kerugian negara. Ia menilai ketidakselarasan ini bisa menciptakan dugaan ketidaktransparanan yang merugikan perusahaan maupun negara.

Lebih lanjut, Doni menyampaikan bahwa pengelolaan sisa hasil produksi (SHP) kapal isap tidak dicatat secara jelas. Padahal, setiap kilogram produksi timah merupakan aset negara, mengingat PT Timah sebagai BUMN. Doni menekankan bahwa PT Timah wajib memastikan tidak ada kebocoran dalam proses pencatatan dan distribusi, termasuk dari sisa material yang selama ini terabaikan.